Bocah itu tersenyum malu. Sesekali ia memandang mamanya yang tengah memakai tenun ikat, dan aksesori khas lainnya. Sesekali ia tak tertarik apapun, diam dengan pandangan sunyi.
Dia, Maria Magdalena. Perempuan kecil ini pewaris budaya di Takpala, Lembur Barat, Alor Tengah Utara, NTT. Dia dibarisan terdepan yang harus melestarikan adat lama Suku Abui.
Desa adat Takpala ini ada di puncak bukit, hanya diisi 13 kepala keluarga, dengan 15 rumah adat berbentuk limas. Punya tari perang Cakalele. Punya pula tari khas Lego-Lego, tari kebahagiaan dan kebersamaan yang ditarikan banyak orang saling berangkulan membentuk lingkaran. Di bawah, nampak membayang indah Teluk Belelang tempat lumba-lumba kerap menari pula.
Maria Magdalena, bocah Lima tahun itu tentu belum mengerti banyak. Nilai-nilai leluhur yang telah berantai dituturkan dan diajarkan dari generasi ke generasi sampai kini padanya. Ajaran yang jauh lama sudah menjadi pegangan pendahulunya.
Ia akan menjalankannya di masa yang berat. Ketika modernisasi sudah hinggap di kaki bukit kampungnya, perlahan-lahan aromanya mulai merambat naik, mengepung desanya hingga tak berkutik. Bocah dengan nama perempuan yang tercatat dalam Kitab itu memikul beban berat. Ia bakal terjepit. Kuatkan dirimu, Maria Magdalena.
Perempuan kecil itu menyodorkanku seuntai kalung dari untaian biji-bijian dan potongan-potongan ranting kayu untuk kukenakan. Kali ini senyumnya lepas, gigi putihnya terlihat jelas. Ia memandangku lekat-lekat.
“Taramiti tominuku,” kataku pelan, bahasa Suku Abui yang menjadi dasar mereka merasa ada. Maria Magdalena mengangguk mengerti. Senyumnya makin mengembang. Aku telah mengatakan, “Meski berbeda kita tetap satu”. Jemari tangannya yang kecil dan dingin kugenggam erat.
Naskah dan Foto: Dian Andryanto – Desa Takpala, Alor Tengah Utara, NTT
email: dian.andryanto@gmail.com
Buku #sayabelajarhidup ke-5: SIMFONI (2016)