Bapak Memberiku Ibu Baru

NYALANYALI.COM, KisahBAPAK. Bapakku seorang seniman, pelukis dan pematung. Beliau putra seorang kepala sekolah di jaman Belanda, di Purwokerto. Sunarto Pr, meminta ijin ayahnya untuk belajar di kota Yogyakarta. Maka berangkatlah beliau ke Yogya untuk menuntut ilmu di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta. Di kota ini, beliau memulai karirnya sebagai seniman, kemudian merambah ke Jakarta dan kota-kota lain. Tahun 1959, Sunarto Pr bersama kawan-kawannya mendirikan sanggar seni rupa bernama Sanggarbambu, dengan ini maka Sunarto Pr semakin kuat sebagai seniman. Dalam perjalanannya, Sunarto muda kemudian meminang seorang gadis untuk menjadi istrinya. 

Waktu terus berjalan, Sunarto terus berkarya. Didalam perjalanan kariernya, banyak hal terjadi. Sang istri sedang menanti kelahiran buah cinta mereka. Sementara itu, saat Sunarto sedang bersinar kariernya dan punya penggemar. Sunarto Pr bertemu lagi dengan seorang wanita, yang kemudian menjadi istri beliau juga. Sementara itu sang istri petama melahirkan seorang putri.

Waktu terus berlalu, saat putri Sunarto Pr dewasa,  dikuatkan keberanianya untuk bertanya, “Bapak, mengapa bapak meninggalkan ibu ?”. Bapak hanya menjawab; “Tidak ada yang terluka”.

Dari jawaban tersebut, tidak ada yang perlu ditanyakan dan didiskusikan lagi. Diam menyelimuti suasana. Imajinasiku menerawang kepada Ibu. Ibu yang sudah wafat. Ibu sendirian sejak aku di usia 40 hari, diambil oleh Nenek, ibu ayahku, dari pelukan ibuku. Sejak itu, Ibu sendirian hingga wafatnya di usia 60an tahun. Saat ini Bapak masih sehat dan kuat, tapi aku tidak ingin menambah bebannya, walaupun bermunculan berbagai pertanyaan yang pantas untuk dipertanyakan, tetapi itu tetap mengendap saja di benak.

Wajah Bapak sangat serius dalam diam. Pohon kepel, pohon meblinjo, pohon pepaya dan pepohonan lain, mereka diam tenang menenangkan kami, daun-daunnya yang bergoyang di angin lembut. Bunga-bunga bergeleng-geleng lembut, seperti ibu hadir diantara bunga, diam diantara bunga. Engkau cantik dan diam bak bunga, duduk diantara bunga. 

Bapak masih diam serius. Aku pun berpetualang di pikiran dan imajinasiku. Kami saling diam tapi ada damai di hati kami, ada rasa cinta dan kebersamaan jiwa, justru karena kami tidak saling mengikat. Bapak selalu mengajarkan padaku untuk berjiwa besar. Apapun yang terjadi dalam perjalanan hidup ini, demikian kata ayah, tidak selalu seperti yang kita inginkan dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya harus berjiwa besar.  Bapakku pun memang juga berjiwa besar, beliau berkata karena ia melakukannya dari hal kecil hingga tanggung jawab besar dilaksanakannya, memang tidak semua berhasil baik, tetapi itulah makanya yang beliau katakan sebagai berjiwa besar, bahkan ketika mengalami kegagalan.

Hal kecil yang ia lakukan, dan  merasa itu adalah tanggung jawabnya, misalny, Bapak akan mengambilkan kue kudapan untuk asisten rumah tangga, walaupun asisten ini melayaninya dalam banyak hal mulai memasak, mencuci, merapikan tatanan rumah. Bapak  akan dengan sendirinya memberi sekadar uang kepada orang yang membutuhkan, tanpa diminta. Bahkan beliau pun sekadar memberi uang saku bila dilihatnya ada yang tinggal jauh dari orangtuanya. Banyak hal kecil seperti ini beliau lakukan, yang sebetulnya bukanlah hal kecil. Hal besar yang bapak lakukan dalam tanggungjawabnya adalah untuk kehidupan keluarga besar, Bapak memikirkan ibu dan adik-adiknya, setelah ayahnya wafat saat ia sedang kuliah di Yogyakarta.

Kemudian Bapak berumahtangga dengan langkah yang aku tidak mengerti, tetapi aku berhormat pada ayah, untuk tidak mempertanyakannya. Aku menghormati pribadi Bapak, bahwa ia memutuskan meninggalkan ibu, itu adalah hak privacy -nya. Tidak sepantasnya aku bertanya, dan bila Bapak  ingin diam, itu aku hormati beliau sebagai milik dirinya sendiri. Beliau berhak menyimpan rahasia miliknya, bila tidak ingin berbagi. Bapak pun selalu menghormati hak dan privacy aku. Itulah maka kami diam. Duduk bersama dalam diam. Tapi diam yang sungguh indah dan damai bersama ayah. 

“Tidak Ada Yang Terluka”

Diantara kesibukannya sebagai seniman, Bapak meluangkan waktu berdua bersamaku. Saat aku kecil, ia mengajak menonton Planetarium di Jakarta. Saat itu suasana Jakarta masih alami dengan pohon-pohon rindang. Ku ingat, bapak selalu menggandeng aku. Di malam di halaman Planetarium yang remang, kami berjalan keluar menuju pulang. Sesekali bapak menggoda dengan melepaskan tangannya dan berkata : “Hiii jalan sendiri saja ya…” aku lompat-lompat mencari tangannya. Aku bahagia bersama Bapak hingga aku tidak bertanya di mana ibu.

Ibu, setelah aku dewasa, aku sadar, betapa Ibu sendiri. Tidak ada putrinya dan tidak ada suaminya. Ibu berjiwa besar. Ia bertahan sendiri selamanya. Ibu tidak pernah muncul, tidak “kepo” di mana kami berada, bagaimana hidup kami. Seorang Paman, adik sepupu Bapak yang bermama Pak Chadio berkata, “Sesekali ibumu lewat di depan rumah Pak Chadio. Berkebaya rapi dengan selendang dan berpayung”. Aku mendengarkan saja. 

Aku tidak tahu harus bagaimana. Bapak tidak pernah bercerita tentang Ibu.Bapak hanya menunjukkan betapa sayangnya padaku, seolah dengan itu ia mencoba melengkapi kasih sayangnya penuh tanpa kehadiran Ibu. Bapak selalu berkata,”Bapak sangat sayang Ibor. Bapaklah yang menginginkan Ibor lahir. Demikian berulang kali Bapak berkata. 

Tiba-tiba, saat aku masuk sekolah, Bapak mendaftarkan sekolah di Yogyakarta, dan tinggal bersama Nenek di Yogya. Bapak kembali ke Jakarta untuk perjalanan seni beliau. Bapak selalu tegas dalam cinta kasihnya, aku tidak bisa menolak dan tidak bisa meminta bapak tetap bersama. Bapak sering berkirim surat dari Jakarta, bapak juga berkirim paket berisi baju hangat, baju-baju baru, buah-buahan, permen dan segala kue kesukaan. Sangat bahagia bila datang paket dari Bapak. Aku akan potong sedikit buah anggur dari bapak, untuk temanku yang sedang main di rumah. Temanku tidak mau makan, dia akan bawa pulang, dia akan tunjukan pada ayah ibunya. Dia akan cerita bahwa buah anggur ini diberi aku dari paket ayahku, dari Jakarta. Aku senang, temanku juga senang.Temanku bertanya : “Bapakmu sayang kamu ya…?”. Aku mengangguk dalam-dalam.

IBU, hingga aku sekolah dasar di Yogya, aku belum tahu siapa ibu, di mana ibu. Nenek menyayangi aku seperti Bapak, Nenek memasak masakan kesukaanku. Nenek menunggui keseharianku. Suatu hari, Nenek memberiku kado besar, beliau membantu membuka, isinya baju-baju baru untukku, tapi aku tahu ini bukan dari Bapak. Model-model baju ini tidak seperti pilihan Bapak. Nenek tidak berkata ini dari siapa. Nenek hanya berkata bahwa ini untukmu, tapi aku suka, aku senang ada bordiran ayam-ayam kecil, ada itik-itik kecil, ada juga kucing kecil. Aku senang, tapi aku tidak bertanya. Aku harus mengerti bahwa Nenek tidak ingin menjelaskan, tapi aku merasa bisa berkata pada Nenek bahwa baju-baju ini dipakai untuk bepergian saja, berkunjung atau bertamu. Bukan untuk sekolah, karena aku sudah diberi tahu Bapak tentang model baju yang mana yang untuk sekolah dan yang mana yang untuk bepergian. Nenek setuju.

Hari-hari terlewati dengan bersahaja. Di Jakarta, Bapak selalu berkata kepada teman-temannya bahwa ia punya seorang putri di Yogya. Hal itu diceritakan teman-temannya kepadaku, aku bahagia mendengarnya. Aku sangat menghormati teman-teman Bapakku. Hari-hari terus berlalu, setiap hari bersekolah, mengerjakan tugas sekolah dan bermain bersama teman, bahagia saat surat atau paket datang dari Bapak. Ia mengirimi alat-alat sekolah, buku tulis yang indah, spidol yang bagus untuk aku melukis. Bapak mengharuskan aku melukis dengan spidol, agar tidak menghapus, karena tiap garis yang sudah ditoreh tidak dihapus lagi, begitu katanya. Kebiasaan tidak menghapus ini kemudian dengan sendirinya merambah ke pelajaran lain.

Suatu hari, rumah terasa sepi. Hanya ada Nenek dan aku. Seperti biasa aku tidak bertanya kepada Nenek, ke mana mereka, adik-adik Bapak ke mana. Biasanya walau pun mereka pergi, tapi rumah tidak sepi. Ini terasa mereka pergi bersama dan serentak, seperti ada hal spesifik. Sunyi di rumah juga terasa berbeda, Nenek tidak banyak bicara dan wajahnya tegang sepanjang hari. Aku hanya melihat gerak gerik Nenek. Aku pun tidak berminat bermain atau mengajak bermain Nenek, bahkan aku tidak berminat mengobrol dengannya, tapi aku tetap ada didekat dia, dan Nenek pun seolah tidak ingin jauh dari aku. Kami bersama, tapi banyak diam. Sesekali Nenek berusaha memecah suasana, tapi gagal. Suasana kembali sunyi dan lengang. 

Aku juga tidak berminat membaca buku. Tidak ada minat apa pun, baik Nenek maupun aku. Kami tidak berbuat apa-apa, hanya duduk masing-masing diam, atau sekadar pindah tempat duduk, atau minum yang juga tidak berasa, makan pun tidak ingin, semua tersasa serba hambar.

Saat sore tiba, mereka datang bersama dan serentak. Aku tetap tidak ingin bertanya dari mana mereka. Mereka juga tidak menyapa Nenek, apalagi aku. Hal yang tidak seperti biasanya. Nenek pun diam, tidak menyapa mereka, semua masing-masing saling diam dengan aktivitas masing-masing yang tetap hanya sekadar duduk, minum, tiduran, mandi. Aku pun hanya melihat mereka saja. Malam pun tiba, saatnya kami semua beristirahat dan tidur. Masing-masing masuk kamar dan tidur. Aku tidur bersama Nenek, dan kami diam saja.

Nenek seperti tidak bisa tidur. Tapi aku tetap tidak bertanya atau mengajak ngobrol, begitu juga dengannya. Tapi aku harus tidur karena harus bangun pagi untuk sekolah. Nenek menyusul tidur. Sebelum tidur, aku ingat, Nenek berkata, “Besok Bapak datang”. Hah bapak datang? Aku senang sekali Bapak akan datang. Bapak besok datang, aku harus cepat tidur, cepat bangun, cepat sekolah, cepat pulang. Bapak datang. Iya besok bapak datang.

Aku pulang sekolah. Cepat-cepat pulang, Bapak akan datang, aku senangku tak terperi.  Aku harus berlari pulang. Aku buru-buru masuk rumah. Aku masuk, aku berhenti melihat ada Bapak, Bapak sudah datang. Duduk degan Nenek dan yang lain. Bapak duduk menghadap arah aku masuk, dan Bapak segera berjalan menuju aku, tersenyum. Aku senang Bapak tersenyum, senang sekali melihat bapak tersenyum. Beliau tinggi besar gagah dan berambut sedikit godrong, berewokan, beliau mencium pipi kiri dan kananku, kening dan rambut diatas kepala diciumnya juga. 

Kemudian menggandeng mengajak duduk. Aku sungguh terlindungi setiap ada Bapak, aman dan bahagia. Aku duduk disamping Bapak. Nenek selalu membiarkan aku bersama Bapak, Nenek tidak pernah mengingatkan ganti baju dulu, atau taruh tas, atau apapun. Saat ada Bapak, Nenek benar-benar memberi ruang padaku untuk bersama Bapak. Semua seluruh keluarga akan membiarkan Bapak dan aku untuk bersama. Mereka semua sangat baik, sangat mengerti bahwa waku-waktu kebersamaan kami sangat sedikit. Aku selalu senang mendengar cerita-cerita bapak. Selesai makan, kami duduk-duduk santai lagi. Bersama Bapak, segalanya terasa lebih baik.

Sesaat kemudian Bapak seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku memandangnya bersiap mendengar apa yang ingin Bapak katakan. Bapak pun mengerti aku menunggunya. Wajah Bapak nampak tenang tapi sedikit lebih serius. Ini tentu Bapak tidak sedang mengajak bercanda atau bercerita biasa yang riang ria. Mata Bapak memandang lurus. Akhirnya Bapak melihatku, lebih menundukkan kepala, untuk lebih bisa fokus bicara denganku. Bapak berkata : “Bapak mau ajak Ibor ke Solo… Ibor mau…?”. 

Aku hanya memandang Bapak, aku tidak tahu harus menjawab apa. Bapak melanjutkan :”Bapak bikin surat ijin ke ibu Guru?”.

Aku menggeleng kepala, aku tunduk dan diam. Bapak mengerti sikapku. Bapak diam. Semua diam. Tiba-tiba aku merasa sendirian. Tidak ada seseorang yang spesifik untuk aku. Bapak, satu-satunya bapakku, kini bukan bapakku lagi. Aku tidak berdaya, tidak bisa bebuat apa-apa. Aku hanya diam. Aku tidak harus merasa kehilangan Bnapak, karena aku tahu bahwa Bapak tidak bermaksud meninggalkan aku. Aku tau Bapak boleh berbuat apa saja tanpa bertaya dan minta aku untuk setuju. Jadi aku diam saja.

Pagi esoknya, sebelum berangkat sekolah, Bapak memeluk dan menciumku, pipi, kening, wajah. Bapak berkata :”Baik-baik disekolah, pintar ya…nanti Bapak pergi ke Solo, Bapak pamit ya…”. Aku mengangguk.

Suatu sore setelah itu, terdengar langkah-langkah suara sepatu yang kuat, Bapak  tiba-tiba muncul memasuki rumah. Bapak, bersama seorang perempuan. Bapak tersenyum hangat seperti biasa, dan segera memeluk dan mencium aku. Ia berkata, ”Beri salam pada beliau,” sambil mengarahkanku kepada perempuan itu. Nenek mendekat dan mempersilakan mereka, dan yang lain menyalami dan saling menyapa. Semua duduk untuk menerima kedatangan ini, beramah tamah. Aku pun duduk diantara mereka. Nenek menyiapkan ninum-minum dan kue untuk kita semua. Berbincang semua dengan santai, bercanda dan tertawa…

Saat jeda berbincang, Bapak berangsur menunjukkan ekspresi serius. Seperti biasa, bila Bapak telah menunjukkan ekspresi seperti itu, suasana mengikuti menjadi tenang cenderung sunyi seolah menanti sesuatu. Dan benar,Bapak nampak bersiap untuk berkata.  Memandang ke wajahku, aku merasa ada sesuatu yang membuatku agak tegang. Aku mulai merasa ada hal penting lagi yang akan disampaikan Bapak  kepadaku

”Ini Ibu, ibumu”, demikan Bapak berkata terutama kepadaku, sambil ia bolak balik memandang aku dan Ibu itu. Nenek dan semua tiba-tiba diam. “Mulai sekarang Ibor punya Ibu, ini Ibu Dien”. “Jadi sekarang Ibor punya Bapak dan Ibu”, lanjut Bapak. Aku mendengarkan, dan semua juga mendengarkan. 

Bapak terus melanjutkan: “Bapak, Ibu dan Ibor sekarang kita satu keluarga. Ibu akan menyayangimu. Bapak dan Ibor pun menyayangi Ibu”. Aku tetap diam mendengarkan. Aku tahu ini bukan ibu kandungku, karena Bapak memperkenalkan setelah aku lahir dan bersekolah begini. Aku diam dan menerima pernikahan ayah dengan ibu baru. Aku melihat Bapak cukup bijaksana. Aku melihat Bapak tegas, dan aku percaya Bapak, itu cukup. Bapak memandangku, menunggu reaksi dari aku, tapi aku menunjukkan sikap diam yang tenang dan penuh penerimaan, maka Bapak mendekatiku, memelukku dan berkata : “Ibor setuju ?”. Aku mengangguk.  

Bapak tersenyum, mencium aku dan mulai tersenyum lebar. Suasana menjadi cair, dan semua kembali berbincang dengan santai, ramah dan gembira. Terima kasih Bapak. Engkau sungguh Bapakku yang aku cintai, sebagaimana bapak selalu memanggilku Ibor tercinta, di setiap surat-suratnya. 

Irah Banuboro

Putri Sunarto Pr Pendiri Sanggar Bambu
Pekerja Seni, Perajin Batik Tulis  – Yogyakarta

Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nusantara Berkisah 02:Orang-orang Sakti (2019)

Bagikan :

Advertisement