NYALANYALI.COM, Wawancara – Maizidah Salas menerima penghargaan Trafficking in Person (TIP) Report Heroes yang diserahkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael R. Pompeo didampingi Dewan Penasehat Presiden tentang Perdagangan Orang yang juga Putri Presiden AS Donald Trump, yaitu Ivanka Trump, di Washington DC, 28 Juni 2018, lalu.
Perjuangannya melawan dan membantu para korban perdagangan manusia atau Human Trafficking itulah yang membawanya menerima penghargaan bergengsi itu, ia menjadi salah seorang dari 10 pejuang anti perdagangan manusia.
Semua bermula saat Maizidah muda, bekerja di sebuah pabrik di Korea Selatan. Merantau jauh ia dari kampung halamannya di Wonosobo, Jawa Tengah, sekitar 1996. Ia kumpulkan uang sedikit demi sedikit bisa mengirim kepada orangtua yang merawat anaknya. Segala cara ia akan lakukan, sebagai orangtua tunggal, untuk masa depan anaknya lebih baik dari dirinya nanti. Meski ia tak setiap hari bisa mencium anaknya dan mendengar gelak tawanya.
Maizidah dijanjikan bekerja di Taiwan sebagai pengasuh lansia. Tapi itu tipu semua. Sesampai di Taiwan, ia disuruh bekerja di sebuah restoran. Mulai pukul 04.00 pagi hingga tengah malam, tanpa gaji, tanpa libur, dan tidak boleh bicara dengan siapapun kecuali majikan.
Tak ada istirahat buatnya. Bekerja terus, jika belum disuruh berhenti. Meminta waktu untuk salat pun tak boleh. Air mata dan keringat telah menjadi satu. Sakit dan susah telah berpadu.
Dan, pengalaman pahit sebagai buruh migran itu menjadi titik balik kesadarannya, bukan hanya membantu dirinya sendiri mendapatkan hak-haknya, juga banyak kawan buruh migran Indonesia lainnya.
Maizidah Salas menerima anugerah Traficking in Person Heroes dari Kemenlu Amerika Serikat, 2018. (Foto Dok. VOA)
Ia kemudian menyelesaikan ujian persamaan paket C, sebelum melanjutkan Pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Bung Karno dan menamatkannya pad 2014. Aktif ia dalam organisasi Buruh Migran Indonesia (BMI). Pengalaman-pengalaman buruknya menjadi korban perdagangan manusia, membuat ia mendedikasikan dirinya, agar tak ada orang yang bernasib seperti dirinya. Advokasi melawan human trafficking ia gencarkan.
Kordinator Jaringan Buruh Migran (JBM) Jawa Tengah dan Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia DPC Wonosobo ini menyampaikan berbagai kondisi yang dihadapi buruh migran Indonesia kepada NyalaNyali.com. Berikut petikannya:
Persoalan mendasar apa yang membuat khususnya para wanita menjadi pekerja migran?
Sudah bisa dipastikan bahwa masalah ekonomi pada keluarga menjadi persoalan pertama, dan kedua biasanya ada masalah dalam keluarganya misalkan broken home atau lainnya, ketiga, tidak adanya lapangan pekerjaan yang sesuai minat ataupun kemampuan sesuai pendidikan teman-teman yang bisa dijangkau
Keempat, iming-iming dari oknum sponsor atau calo yang menjanjikan akan memberikan atau mencarikan pekerjaan yang baik, majikan yang baik, gaji tinggi, dapat pesangon dan sebagainya. Itu adalah persoalan mendasar mengapa perempuan banyak menjadi pekerja migran sampai hari ini.
Bagaimana secara umum kondisi pekerja migran kita?
Kalau melihat kondisi sampai sekarang, apalagi di masa pandemi ini, menurut saya, negara belum hadir untuk menjamin hak informasi bagi buruh migran. Para calo dan sponsor itu sampai sekarang mereka bersifat komersial dan dibiarkan mendominasi sumber informasi bagi buruh migran, dan anggota keluarganya.
Apa yang terjadi?
Buruh migran kerap mendapat informasi yang menyesatkan, merampas hak-hak buruh migran mulai proses sampai merek pulang kemudian. Buruh migran yang mayoritas adalah mereka yang bekerja di sektor cukup rentan misalkan pekerja rumah tangga atau anak buah kapal dan lainnya, sampai saat ini mereka masih banyak yang mengalami permasalah di luar negeri.
Di masa pandemi ini bagaimana?
Kemudian di masa pandemi ini, situasi ini yang dihadapi buruh migran juga semakin memburuk. Mereka banyak kehilangan pendapatan untuk menghidupi diri sendiri, apalagi untuk keluarga mereka, Nah, hal ini karena ada penutupan bisnis secara tiba-tiba akibat adanya kebikjakan lockdown, kemudian buruh migran telah menyelesaiakn kontrak kerja itu juga tidak bisa pulang lalu mereka yang bekerja juga tiba-tiba diberhentikan oleh majikannya karena majikannya juga terdampak pandemi.
Kemudian, banyak teman terlantar tanpa makanan yang cukup dan tempat tinggal yang layak karena ketiadaan sarana untuk kembali ke Indonesia. Ada juga buruh mogran Indonesia (BMI) dilarang majikannya untuk bepergian hari libur, tapi kesehariannya mereka tetap diwajibkan bekerja dengan keluar untuk belanja harian kebutuhan pokok majikannya.
Kondisi tersebut terutama dialami para pembantu rumah tangga. Belum lagi tentang gaji-gaji mereka yang banyak ditangguhkan dan dijanjikan akan dibayar setelah kondisi normal. Akhirnya, buruh migran tidak dapat mengirimkan uang untuk keluarga di Indonesia.
Apa saja kendala yang dihadapi buruh migran kita, sejak dari dalam negeri hingga di luar negeri?
Kendala ini sebelumnya pun sudah ada sebelum pandemi Covid-19. Ada perbedaan kendala yang dihadapi teman-teman terutama mereka yang saat ini mau berangkat, mereka sudah menjalani proses di penampungan Pendidikan dan pelatihan cukup lama tapi akhirnya mereka tidak bisa berangkat karena masa pandemi ini.
Dan, ada aturan dari pemerintah Indonesia dan negara penerima buruh migran Indonesia yang sama-sama menutup jalur penempatan buruh miogran sehingga banyak yang akhirnya kembali ke rumah dengan memberikan jaminan kepada perusahaan penyalur TKI. Nah, apabila calon pekerja migran itu mengundurkan diri, maka jaminan tersebut bisa hilang atau diambil oleh pihak perusahaan yang menempatkan.
BMI ini menandatangani surat pernyatan yang dibuat oleh perusahaan tanpa saksi dari pihak ketiga seperti lembaga lain misalkan dari pemerintah atau organisasi buruh migran yang ikut menjadi saksi dalam penandatangaann surat pernyataan tersebut. Jadi kesannya, tandatangan itu karena terpaksa.
Bagaimana dengan masalah perlindungan hukum buruh migran kita?
Kalau kita lihat di Indonesia sekarang ini masih banyak peraturan yang bolong-bolong, sehingga perlindungan secara normatif masih setara dengan sejumlah peraturan pelaksana yang belum diselesaikan oleh pemerintah, contohnya UU no 18 tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, sampai saat ini juga aturan turunananya belum ada.
Kemudian di negara penempatan juga aturan dan hukumnya berbeda dengan di Indonesia sehingga ketika ada masalah, baik dalam negeri atau luar negeri, teman-teman dihadapkan pada aturan yang berbeda sehingga perlindungan terhadap pekerja migran dan calon pekerja migran itu masih terkesan lemah.