NYALANYALI.COM – Semula sering mendapat curhat (curahan hati-Red) berbagai hal dari teman-teman saat SMA, membuat perempuan ini memantapkan diri memilih jurusan psikologi di Universitas Indonesia. “Soal menjadi korban curhat menjadi salah satu alasan, tapi sejak SMA memang aku sudah mantap masuk jurusan psikologi dan ingin jadi psikolog,” kata Ajeng Raviando, Psi. berkisah.
Tak seperti yang disangkanya, ternyata kuliah jurusan psikologi tak semudah sangkaannya. “Waktu masuk, aku kaget juga, karena psikologi itu kan basic-nya kedokteran, jadi pelajaraannya ada farmakologi, faal, ttatistik juga ada,bahkan sampai 4 semester,” katanya, “Kebetulan aku kan anak IPS, jadi ya sempat terkaget-kaget awalnya,” kata dia.
Ia meyakini, rasanya hampir semua mahasiswa yang masuk psikologi dari jurusan IPS mengalaminya. ”Terutama yang cowok, karena waktu tempuh pendidikannya kan 6 tahun, karena kita sama dengan kedokteran, jadi kalau mau lulus menjadi psikolog yang harus menyelesaikan pendidikan selama 6 tahun tersebut. Buat yang cowok-cowok ini bikin shock, karena di jurusan lain rata-rata bisa selesai 4 tahun kan,” kata dia..
Itu sebabnya di tengah perjalanan banyak yang pindah jurusan atau keluar karena drop out (DO) . “Alhamdullilah saya tetap tangguh dan tabah sampai akhir,” ujarnya, tertawa.
Dan, hingga kini sudah 20 tahun Ajeng Raviando telah menggeluti bidang konseling, pengembangan diri, asesmen, serta pelatihan. Wajahnya berkali-kali tampil di televisi untuk dimintai pendapatnya terkait berbagai masalah yang terjadi di masyarakat terkait bidang psikologi.
Alumnus SMA Negeri 6, Bulungan, Jakarta Selatan ini juga tengah sibuk sebagai mentor di aplikasi Kejar Mimpi. Selain aktif membuat kulwap serta menulis untuk berbagai media.
Berikut perbincangan Urry Kartopati dari NyalaNyali.com, dengan Ajeng Raviando mengenai terapan bidang psikologi dalam kehidupan masyarakat, saat ini. Berikut kutipannya:
Dari jurusan IPS bisa masuk psikologi, ya?
Di UI memang jurusan IPS bisa diterima untuk masuk Psikologi, kalau di UNPAD harus dari IPA. Nah, kalau dulu kan kita tidak bisa browsing, cari tahu jurusan psikologi itu apa, bagaimana, dan sebagainya, tidak seperti sekarang kita bisa mudah cari informasi tentang apa saja, tinggal browsing saja.
Pengalaman ini akan aku bawa juga di Career Day di SMA 6,untuk anak-anak kelas 3 SMA, jadi memberikan informasi dan memotivasi mereka untuk bisa memilih jurusan yang tepat saat kuliah, supaya mereka tahu mau masuk mana, karena dimasa pandemi seperti saat ini susah bagi mereka untuk melihat langsung perguruan tnggi yang mereka tuju.
Mengapa masyarakat masih merasa “tabu” berkonsultasi ke psikolog atau psikater?
Untuk mengubah stigma bahwa ke psikolog adalah untuk orang-orang yang mengalami gangguan jiwa berat atau yang sering disebut “gila”, memang nggak mudah. Karena mereka masih berpikir, kenapa ke psikolog, memangnya gila. Stigma seperti ini masih tertanam di benak masyarakat.
Jadi stigma seperti itu masih kuat dalam masyarakat?
Mengubah stigma ini butuh waktu yang lama, bahkan sampai bertahun- tahun. Nah, yang saya rasakan, untuk metamorfosa kita butuh waktu sampai sepuluh tahuan- an.Waktu aku lulus tahun 1997-1998, untuk mengubah stigma tersebut sangat sulit.
Lantas?
Syukurlah, sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan dan sudah lebih positif melihat kebutuhan akan kesehatan mental dan profesi psikolog. Saya merasa media lah yang sangat membantu kami mempublikasikan dan mengedukasi masyarakat bahwa tak perlu takut ke psikolog, karena yang pergi ke psikolog tidak berarti mereka mengalami ganguan jiwa berat.
Apa perbedaannya psikolog dan psikiater, masih ada masyarakat yang belum bisa membedakannya?
Dari pendidikannya, untuk jadi psikolog itu masuknya fakultas psikologi, dan ambil profesi psikolog dan kemudian berpraktek.
Kalau Psikater, dia harus masuk fakultas kedokteran, lulus sebagai dokter terlebih dahulu, kemudian baru ambil spesialisasi psikiatri, jenjang pendidikannya jauh lebih panjang, bisa delapan sampai sembilan tahun untuk jadi psikiater. Nah, karena dia ranahnya medis, maka dia berhak memberikan resep dan obat-obatan.
Sementara, psikolog meskipun dia tahu secara ilmunya, karena juga belajar farmakologi, tapi kita tidak bisa memberikan resep atau obat. Ini perbedaan paling mendasarnya, psikater berhak memberikan resep sementara psikolog tidak.
Hal lainnya?
Kami sebagai psikolog menyebut mereka yang butuh bantuan kita sebagai klien, sementara psikater menyebutnya pasien. Jadi kalau psikolog itu melakukan counselling maupun terapi kepada kliennya, sementara psikater ketika ada pasien yang datang dia akan memberikan analisa medisnya dan resep. Jadi mereka diberikan obat, sementara kita tidak. Jadi cara penanganannya berbeda.
Adakah beda mereka yang datang ke psikolog dan psikiater?
Mereka yang datang ke psikolog itu gangguan mentalnya ranahnya ringan ke sedang (menengah), kalau sudah berat dia akan datang ke psikater karena membutuhkan penanganan medis dan butuh diberi obat-obatan.
Contoh paling mudah. Untuk sakit Insomnia, misalnya, kita akan melihat kondisinya seperti apa, kita akan mencari apa akar permasalahannya, kita menganalisa dan mencoba mengidentifikasi permasalahannya seperti apa, kenapa kok dia bisa sampai insomnia. karena kebanyakan insomnia itu karena faktor psikologis.
Tapi, kalau si klien ini sudah sampai tiga hari tidak bisa tidur, dia harus membutuhkan obat, karena dia tidak akan bisa menjalani terapi dan sebagainya. Nah, dalam kasus seperti ini psikolog akan meminta klien untuk pergi ke psikater, karena dia mungkin membutuhkan obat-obatan agar tidurnya lebih enak. Sehingga nanti mencari solusinya bisa lebih baik.