NYALANYALI.COM, Jakarta – Pimpinan KPK periode 2012-2015, Bambang Widjojanto memberikan catatan terhadap pengabaian instruksi Presiden Jokowi oleh pimpinan KPK dan BKN, karena pimpinan KPK menetapkan 51 pegawai yang dianggap tak lolos selesi tes wawasan kebangsaan tak bisa dibenahi. Sementara yang 24 pegawai dianggap masih bisa dibina. “Upaya pemberantasan korupsi mengalami kebangkrutan,” katanya, 26 Mei 2021.
Sementara, sebelumnya Presiden Jokowi memaklumatkan bahwa tes wawasan kebangsaan tidak serta merta menjadi dasar pemberhentian”Hasil tes wawasan kebangsaan hendaknya menjadi masukan langkah perbaikan KPK, baik individu maupun institusi. Tidak serta merta menjadi dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK,” kata Jokowi dalam siaran Sekretariat Presiden, Senin, 17 Mei 2021.
Bambang Widjojanto menyatakan pengabaian perintah Jokowi itu sebagai bukan hanya tindakan menantang pernyataan presiden tetapi juga menista kepala negara. Berikut 7 catatan lengkap BW:
1. Upaya pemberantasan korupsi mengalami kebangkrutan yang akut karena “dipailitkan” bukan oleh rakyat sebagai pihak yang menjadi pemegang sahamnya. Jadi, tak lagi sekadar adanya kemunduran pemberantasan korupsi. 23 Tahun era Reformasi merawat mandat dan anak kandungnya untuk melawan korupsi yang diproduksi rezim otoiter, kini, menjadi remuk, luruh dan runtuh. Yang memilukan, aktor intelektual yang diduga menjadi eksekutor utama kebangkrutan dan kepailitan itu adalah kekuasaan, khususnya, Ketua KPK beserta jajaran pimpinan.
2. Fakta atas sinyalemen itu ditujukan dengan pengumuman 51 pegawai KPK yang diberhentikan karena tidak memenuhi TWK dan tidak mungkin lagi dilakukan pembinaan. Tindakan ini mematikan hak keperdataan pegawai KPK yang sudah menunjukkan kinerjanya. Bagaimana mungkin, TWK yang absurd itu dipakai untuk menyingirkan pegawai KPK yang sudah terbukti kinerjanya sangat baik, mengikhlaskan nyawa dan matanya untuk berantas korupsi.
3. Selain hal tersebut, metode TWK yang dijadikan dasar keputusan itu banyak dipertanyakan ahli soal akuntabilitasnya. Bahkan, sebagian kalangan telah menyimpulkan, metode TWK terbukti memuat unsur-unsur yang potensial bersifat rasisme, intoleran, melanggar HAM, berpihak pada kepentingan prilaku koruptif dan bersifat otoriter.
4. Ketua KPK dan pimpinan lembaga Tinggi Negara lain yang mendukungnya patut diduga telah berkolusi untuk melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara melegalisasi hasil TWK yng kontroversial dan tidak akuntabel tersebut. Untuk itu, mereka harus dikualifikasi telah melakukan obstraction of justice karena dapat mengganggu dan menghalangi upaya pemberantasan korupsi.
5. Tindakan itu, punya indikasi kuat, bukan hanya menantang pernyataan presiden tetapi juga menista kepala negara. Tindakan dimaksud secara faktual juga dapat dinilai sbg perbuatan kriminal karena melawan perintah atasan dari penegak hukum (dhi presiden) sesuai Pasal 160 KUHP.
6. Tidak ada pilihan lain, Presiden sebagai pejabat tertinggi ASN harus mengambil tindakan karena mempunyai otoritas untuk mengambilalih persoalan TWK Pegawai KPK sesuai Pasal 3 ayat (7) PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen ASN. Untuk itu, Presiden diusulkan mendelegitimasi atau membatalkan Keputusan ketua KPK yang di-backup para pembantunya tersebut. 7. Jika Presiden tidak tegas mengambil upaya perlindungan hukum dan menyelesaikan secara tuntas problem di atas maka Presiden Jokowi dapat dituding menjadi bagian tak terpisahkan dari pihak-pihak yang menghancurkan lembaga KPK dan menyingkirkan pegawai terbaik KPK serta melegalisasi TWK sebagai instrumen litsus yang nyata-nyata anti Pancasila.