NYALANYALI.COM – Yanusa Nugroho, sastrawan ini telah membukukan beberapa karya. Sebut saja Kumpulan cerpennya: Bulan Bugil Bulat (1989), Cerita di Daun Tal (1992), Menggenggam Petir (1996), Segulung Cerita Tua (2002), Kuda Kayu Bersayap (2004) Tamu dari Paris (2005), Setubuh Seribu Mawar (2013). Cerpennya “Orang-orang yang Tertawa” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dalam kumpulan cerpen berjudul Diverse Lives—editor: Jeanette Lingard (1995). Novelnya: Di Batas Angin (2003), Manyura (2004), Boma (2005).
Salah satu cerpennya, Kunang-kunang Kuning (1987) meraih penghargaan Multatuli dari Radio Nederland., “Wening”, cerpennya, mendapat Anugrah Kebudayaan 2006dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Novelnya “BOMA” menyabet penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa, pada 2007. Ia raih Anuegrah Kesetiaan Berkarya dari Kompas pada 2011, Cerpennya “Selawat Dedaunan” mendapat Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2012.
Selain menulis, Yanusa pun pernah mengonsep pertunjukan wayang kulit purwa untuk media audio-visual, bersama para seniman STSI-Surakarta: KALASINEMA. Membuat VCD pembacaan cerpen, berjudul “Anjing”, dari kumpulan cerpennya Kuda Kayu Bersayap.
Membaca beberapa karya Yanusa, sarat dengan symbol dan filosofi wayang. Sebut saja pada novelnya berjudul Di Batas Angan (2003), Manyura (2004), dan Boma (2005). “Sejak kecil, saya menyukai wayang, meskipun ayah dan ibu bukan pemain wayang atau seniman panggung,” kata lelaki yang mengaku mengenal kisah wayang dari komik RA Kosasih, dan tengah menyelesaikan novel terbarunya
Bagaimana dunia wayang memberikan dorongan berolah kreasi dan menjabarkan wayang dalam symbol kekinian, Yanusa Nugroho menceritakan kepada Redaksi NyalaNyali.com, sebagai berikut:
Bagaimana proses novel terbaru Anda, Karno Basuseno?
Menunggu proses terbitnya novel saya tentang Karno Basuseno, ini wayang lagi.. he-he-he
Dalam beberapa karya, Anda kerap mengambil dan memberi amsal dari kisah pewayangan. Mengapa?
Dunia Pewayangan Jawa, bagi saya adalah sebuah mitologi, dan itu adalah sumber yang luar biasa. Tentu, karena saya memang kagum. Sejak kecil saya dikelilingi oleh kisah-kisah pewayangan. Sebagaimana mitologi Yunani, kisah pewayangan memiliki sangat banyak hal tentang manusia dan kemanusiaannya.
Ada banyak nilai kebaikan-keburukan yang tertuang di sana, dan ini materi yang sangat kaya untuk diolah menjadi kisah-kisah yang lain. Ini, kan sumber ide yang luar biasa. Ini kan sesuatu yang menantang intelektualitas seseorang untuk menanggapinya di situasi kini.
Jadi, ya, kalau ditanya mengapa, saya hanya bisa menjawab, saya sudah jatuh cinta. Sulit, kan, kalau sudah ngomong cinta..ha-ha-ha
Siapakah tokoh wayang yang Anda idolakan?
Idola mungkin tidak hanya satu tokoh, ya. Dulu, saya ingat, ketika masih kanak-kanak, saya sangat mengidolakan Hanoman, he-he-he.. karena dia bukan manusia, bikan hewan, bukan dewa. Dia campuran ketiganya dan sakti.
Mengapa Hanoman?
Di mata saya, yang masih anak kecil, Hanoman itu hero. Nah, ketika sudah dewasa dan tua bentuknya bukan idola tetapi jadi simpati. Saya bersimpati kepada Gatotkaca, misalnya, bukan karena kehebatannya sebagai kesatria, tetapi tahu bahwa masa kecilnya telah direnggut darinya. Ddia dibesarkan secara paksa oleh dewa-dewa untuk bisa melawan Sekipu, raksasa.
Atau Boma. Dia ini, sebetulnya kan anak Wisnu, yang kemudian menjadi Kresna tapi kan seperti tidak diakui dan akhirnya disingkirkan oleh Kresna dan dibuatkan lakon khusus soal kematiannya yaitu Gojali Suta, perang ayah-anak. Ini, kan tragis. Jadi, begitu, bukan lagi idola tapi simpati.
Lakon wayang apakah yang menjadi favorit?
Kalau lakon, wah, tidak ada yang khusus. Semua saya suka. Menurut saya, kata kuncinya bukan pada lakon, tetapi siapa yang membawakan lakon itu. Kalau wayang kulit, ya, dalangnya.
Nah, Jika diibaratkan, saat ini negeri kita sedang berada dalam lakon apakah dalam pewayangan?
Nah, ini juga makin tidak jelas. Kalau dulu, pada 1998, ketika Suharto lengser, saya menerbitkan novel Manyura’ yang berkisah tentang pasca Baratayuda, kalau di wayang ada lakon Pandawa Boyong atau Parikesit Jumeneng. Artinya, setelah Suharto lengser ada era baru bagi Indonesia. Di wayang ada lakon itu, jadi pas. Kan jelas situasinya, kondisinya.
Hari ini, kita belum bisa menentukan lagi karena memang yang kita hadapi bukan fokus pada satu hal atau satu tokoh tetapi banyak hal dan banyak tokoh, baik dalam dan luar negeri. Jadi, saya tidak bisa menjawab, sekarang kita di lakon apa..ha-ha-ha
Nilai-nilai wayang apakah yang melekat kuat dalam ingatan Anda?
Yang pertama, jelas nilai kejujuran. Kejujuran itu dekat dengan keluguan, sehingga seringkali orang yang lugu disalahpahami. Tapi, inilah hidup. Yang berikutnya mungkin berani, bukan nekat, nilai ini banyak dicontohkan di bagian Baratayuda.
Berikutnya lagi, hormat pada orangtua atau leluhur juga senior. Ini masalah adab, jadi sepandai apapun, sesakti apapun, dalam kondisi perang sekali pun, seorang Gatotkaca menghormati Karno terlebih dahulu sebagai kemenakan kepada uwaknya sebelum berperang, sebagai panglima perang Pandawa.
Siapakah tokoh panutan Anda dalam bersastra?
Ada beberapa, misalkan Bang Hamsad Rangkuti (almarhum). Beliau ini kalau menulis sederhana. Topik-topiknya sederhana, sebagaimana sosok pribadinya yang selalu sederhana dan rendah hati. Namun, dari kesederhanaan itulah karya-karyanya mampu memberi ruang kontemplasi kepada saya. Ini yang masih terus saya ‘pelajari’ dari beliau.