Sumpah Soepratman, Anak Muda Itu

28 Oktober 1928

Lelaki muda itu melangkahkan kakinya. Ia berjalan di tengah sorotan banyak pasang mata. Bunyi sepatunya menjejak lantai, terdengar berdegup.

Tak banyak yang mengenal anak muda, 25 tahun itu. Beberapa tokoh pergerakan pun bertanya-tanya, siapa dia?

Dia terus melangkahkan kakinya, membelah tatapan dan tanya peserta Kongres Pemuda II di Indonesische Clubhuis, Batavia (sekarang, Jalan Kramat Raya 106, Kwitang, Jakarta Pusat). Dia yang bukan siapa-siapa, saat Soempah Pemoeda disampaikan.

Lelaki muda itu, telah diposisinya. Ia mengangkat biola yang dibawanya, kemudian disandarkan di bahu kirinya. Jemari kanannya menyentuh ujung bilah gesek, kemudian menderaskan nada melalui dawai biola tuanya.

Nada itu menjadi irama yang menggedor semangat perjuangan anak-anak muda dalam ruangan itu. Ia terus menggesek dawai biola, suaranya memenuhi ruangan. Lagu tanpa lirik itu kemudian dikenal dengan Indonesia Raya. Pertama kali diperdengarkan.

Anak muda ini bukan tokoh pergerakan seperti yang hadir lainnya, ia hanya seorang Wage Rudolf Soepratman. Pemain musik dan penggubah lagu.

***

Penjara Kalisosok, Surabaya, 1938

Lelaki muda itu mendekam dalam bui. Ia menjadi target buruan Belanda, karena lagu Indonesia Raya yang diciptakannya menjadi lagu favorit pergerakan anak-anak muda masa itu.

Awal Agustus 1938, Soepratman dijebloskan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia menyiarkan lagu ciptaannya yang lain “Matahari Terbit” juga mengabarkan saatnya tiba kemerdekaan bangsa ini.

Lelaki itu bersandar di dinding dingin penjara. Tekanan tentara Belanda kepadanya sedemikian keras. Ia dianggap memprovokasi melalui lagu ciptaannya. Tatapan matanya sudah lemah, beberapa kali ia terbatuk-batuk.

Jari yang biasanya lincah memainkan biola itu, terkulai pasrah. Ia hanya ingin berbakti pada Tanah Airnya.

Ia menatap dinding bisu. Tergambar semua perjalanan hidupnya. Lahirnya, 19 Maret 1903. Masa kecilnya di Dukuh Trembelang, Sumongari, Purworejo, Jawa Tengah. Didikan keras ayahnya, Joemono Kartodikromo seorang tentara KNIL dan kelembutan hati ibunya, perempuan desa sederhana Siti Senen menjadi benar sikapnya bersama saudara-saudara lainnya. Aroma desa lekat dalam kenangannya.

Ia ingat, masih 11 tahun ia ikut kakak perempuannya, Roekijem yang menikah dengan seorang Belanda Willem van Eldik ke Makassar, Sulawesi Selatan. Negeri yang tak terbayangkan. Kakak iparnya ini yang menambahkan ‘Rudolf’ pada namanya agar bisa sekolah Europees Lagere School di Makassar.

Tak banyak pribumi yang bisa masuk di sekolah itu. Ia belajar demikian tekun, bersaing dengan anak-anak Belanda lainnya. Di waktu senggangnya ia belajar main biola.

Lelaki pendiam dan penyendiri itu merasa biola alat musik yang bisa mewakili dirinya. Kadang merintih menyayat syahdu, bisa pula menghentak tempo dipercepat.

Jadi guru pernah dia di sebuah desa di Makassar. Kemudian jadi wartawan pernah pula saat ia ke Bandung bekerja di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Berteman dengan beberapa orang pergerakan.

Ingatan Soepratman terhenti. Ia memejamkan matanya sesaat. Sesekali terbatuk. Angin dingin menyisip ruang tahanannnya yang lembab.

Usia 21 tahun, Soepratman memainkan biolanya. Ia menemukan rangkaian nada. Saat itu dadanya bergejolak, ingin merdeka sekaligus memuja Tanah dan Air-nya. Itulah lagu Indonesia Raya yang dikenal saat ini.

Dia mempersembahkan lagunya untuk rakyatnya, yang ia harapkan dibangun jiwanya dan badannya. Dan menyerukan Indonesia Bersatu.

***

Surabaya, 17 Agustus 1938.

Dalam sunyi Wage Rudolf Soepratman mengembuskan nafas terakhirnya di usia masih muda, 35 tahun.

Sumpahnya memberikan yang terbaik yang ia punya pada Tanah Air-nya telah ia tepati. Lagu INDONESIA RAYA itu, darma baktinya.

Lagu kebangsaan yang tak pernah ia dengarkan lagi, yang dinyanyikan bersahutan dari pelosok negeri. Lagu 3 stanza yang memuat seluruh cita-cita bangsa ini dan meleburkan diri pada Ibu Pertiwi.

Dalam sepi Soepratman pergi. Tepat 7 tahun kemudiam proklamasi kemerdekaan bangsa ini dibacakan yang tak ia saksikan. Cita-cita kemerdekaan yang mendarah daging buatnya.

Soepratman pergi sendiri, duka tak ada yang terlalu dalam saat itu. Belum berkeluarga dia, sebelum Indonesia merdeka.

Sumpah sudah ditunaikannya. Susah jalan hidupnya, tapi ia telah mewariskan, “..HIDUPLAH INDONESIA RAYA.. “

Dia anak muda, yang menepati janjinya. Dalam sunyi hidupnya.

S. DIAN ANDRYANTO
Buku #sayabelajarhidup ke-7: Pita Garuda (2017)

Bagikan :

Advertisement