NYALANYALI.COM – “Ini menara kantor Residen Malang untuk mematai Masjid Jami’,” kata Dwi Cahyono sambil menunjuk gedung buatan 1936 yang kini jadi Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara. Di situ Nia Dinata putar film dua pemuda Muara Jambi kunjungi Nalanda, lalu bertualang sampai akhirnya bersua Dalai Lama.
Gamelan bocah-bocah Ngadas dari Gunung Bromo menghangatkan malam di Universitas Negeri Malang. Romo Mudji menutup pidatonya dengan hiruk pikuk negeri yang memprihatinkan. Bersama surat menyurat Charles Damais dan Claire Holt, buku “Si Pamutung” dari biaro Buddha Padang Lawas, dekat kampung halamanku, diluncurkan.
Indonesia masih berusia setahun pada 1946. Sayup suaranya bagai perkusi, saluang, serta kecipak mulut Epi Martison pada malam yang berhujan. Tapi sekaligus riuh, seperti rock Madura Lorjhu yang pemusiknya berkopiah ditingkahi Sisingaan.
Afrizal Malna membuka kopernya dari Sidoarjo, lalu mengambil tas kresek merah untuk menutupi wajah dan kepala botaknya. Penyair yang tak tahu lagi tulisannya puisi atau bukan, ketika menulis manusia yang kesepian lantas menciptakan dewa, hingga Marie Curie menangisi radium temuannya.
Maut membayangi diri penyair yang berdiam dalam mikropon di tengah abad berlari senantiasa. Bagai Cak Rina yang bersama 45 lelaki Teges menari dari Pulau Dewata di bawah bulan yang tak lagi purnama. Hiruk pikuk bak sajak “Shanghai” – Sutardji yang dibacakan Jose Rizal Manua.
Tak kunjung diam kicau Jengki dan Ramses, begadang sambil menenggak Vodka sampai azan Subuh sayup terdengar telinga. “Aku pamit dulu ya, kembali menjadi freelance monotheis,” kataku disambut ngakak mereka berdua. Anwari sarapan nasi jagung di antara teriak popcorn gadis penjaja.
RAMDAN MALIK