Sertipikat Tanah Bukan Sertifikat Tanah, ini Alasannya

NYALANYALI.COM, Jakarta – Perubahan sertipikat tanah menjadi sertipikat elektronik terus menjadi wacana di publik.

Namun, masih saja ada yang bertanya terlkait penulisan atau nomenklatur Sertipikat untuk bukti kepemilikan atas sebidang tanah. Penulisan yang benar, sertipikat atau sertifikat?

Dikutip dari www.omtanah.com , sebutan sertipikat berasala dari kata serapan yaitu “Certificaat/ Certifikaat” (Belanda) atau “Certificate” (Inggris), mempunyai kandungan makna atau arti yang bisa berbeda-beda, misalnya, sertipikat kelahiran atau sertipikat tanah. Hakikatnya kata sertipikat secara umum diartikan sebagai tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan atau suatu kejadian . Jadi unsur-unsur setidaknya ada tiga: pertama, Tanda atau surat keterangan atau pernyataan yang tertulis; kedua, dibuat oleh yang berwenang dan; ketiga, digunakan sebagai bukti adanya kepemilikan atau kejadian.

Bidang hukum tanah, Boedi Harsono  mengartikan sertipikat bermakna sebagai surat tanda bukti hak yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Sertipikat hak atas tanah adalah suatu surat tanda bukti bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah atas suatu bidang tanah tertentu .

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna tentang sebutan sertipikat secara umum dapat diartikan sebagai suatu surat keterangan atau pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak atau pejabat tertentu yang diberikan suatu kewenangan untuk mengeluarkan. Tujuan dikeluarkannya sertipikat merupakan suatu tanda bukti atas adanya suatu kejadian sekaligus sebagai alat pembuktian.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tidak disebutkan secara tegas sebutan kata sertipikat. Dalam pasal 19 ayat (2) c UUPA “pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Dalam penjelasan pasal tidak ada yang dimaksud dengan “surat-surat tanda bukti hak” itu sendiri. Meskipun demikian dapat diduga bahwa yang dimaksud dengan Surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat adalah yang disebut sertipikat.

Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksana dari perintah pasal 19 ayat (4) U.U.P.A., menjabarkan makna surat–surat tanda bukti. Pasal 19 ayat (3) menetapkan: ”salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan satu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertipikat dan diberikan kepada yang berhak”. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (4): “Sertipikat tersebut pada ayat (3) pasal ini adalah surat tanda bukti hak yang dimaksud dalam pasal 19 Undang–Undang Pokok Agraria”, yang dimaksud sertipikat disini adalah surat tanda bukti hak yang di dalamnya terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu.

Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 selanjutnya diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 (L.N. 1997, No. 59) tentang Pendaftaran Tanah. Di dalam Pasal 1, angka 20, ditetapkan: “Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c, Undang-Undang Pokok Agraria untuk Hak Atas Tanah,… dst”

Dari keterangan diatas terlihat bahwa surat tanda bukti hak yang didalamnya terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu ditulis sebagai Sertipikat bukan Sertificate

Selain itu Sertipikat adalah Bukti Kepemilikan Tanah yang bersifat Tetap sehingga tidak dapat diubah  kecuali ada keputusan Hukum yang tetap, coba kita bayangkan kalau seluruh sertipikat yang ada di Indonesia Harus diubah, beapa biaya yang dikeluarkan dan juga kalau ada perubahan yang ada, hal tersebut dapat merubah ke-otentikan sebuat surat tanah untuk alasan itulah surat tanah  tidak diubah tetap Sertipikat, selain itu seperti kita ketahui penggunaan Bahasa Indonesia mengikuti perkembangan zaman yang ada sehingga bisa saja terjadi perubahan penggunaan kalimat tanpa mengubah artinya.

Bagikan :

Advertisement