Kolonel Bob

Kabar mengenai meninggalnya Kolonel Bob aku dengar pada suatu pagi dari seorang tetangga. Bob, Robert van Humboldt demikian nama lengkapnya. Sudah lama aku tidak mendengar nama itu apalagi bertemu.  Kami pernah bekerja di departemen yang sama walaupun berbeda instansi, bahkan kami pernah tinggal berdekatan rumah.

Bob seorang peranakan keturunan Belanda-Jerman, Kakeknya Jerman, bapaknya Belanda dan ibunya keturunan Madura. Ia tergolong yang pada waktu itu disebut Belanda Indo atau Indo saja. Warna kulitnya agak gelap walaupun perawakan tubuhnya tidak terlalu besar, ia termasuk tegap dengan dada bidang dan lengan berotot yang ditandai beberapa hiasan tato. Wajahnya bertampang sangar penuh wibawa, terutama apabila ia sedang berhadapan dengan pasukannya. Cocok dengan latar belakang dan pergaulannya selama ini sebagai komandan pasukan marinir.

Sebelumnya ia adalah anggota tentara Kerajaan Belanda yang kemudian setelah pemulihan kedaulatan Indonesia ia beralih ke Angkatan Laut Republik Indonesia yaitu di Kesatuan Komando Operasional. Jika di tentara Belanda ia berpangkat Sersan Mayor II, di Angkatan Laut Indonesia ia menjadi Letnan II dan setelah beberapa tahun ia terakhir berpangkat Kolonel. Ia sangat bangga akan latar belakangnya sebagai anggota tentara Kerajaan Belanda itu, yaitu Koninklijke Nederlandsche Leger (atau K.L) yang semua anggotanya terdiri dari orang-orang Belanda dan orang-orang yang kedudukannya disamakan dengan orang Belanda dan bekas Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (atau KNIL) yang anggota-anggotanya terdiri sebagian besar dari orang-orang Indonesia berbagai suku. Bahkan kebanggaannya itu ditambah lagi bahwa ia pernah memperoleh bintang jasa (Ridder van Oranje Nassau) dari Kerajaan Belanda karena telah berjasa dalam beberapa pertempuran melawan pasukan Jepang ketika  Perang Dunia II.

Ia pernah ditawan Jepang dan dibawa ke Muang Thai. Di sana ia melakukan kerja paksa membangun jalan kereta apai bersama tawanan-tawanan lainnya dari berbagai negara sekutu yang melawan Jepang. Menurut ceritanya ia cukup menderita pada waktu itu. Tetapi setelah Perang Dunia berakhir ia merasa bahagia, karena ia berhasil mempersunting seorang gadis Thai menjadi istrinya yang kemudian diboyongnya ke Indonesia. Kabarnya, istrinya itu mantan seorang ratu kecantikan di daerah asalnya di Muang Thai. Dari istrinya itu ia memperoleh dua orang anak.

Di Indonesia sebagai anggota pasukan KL ia turut dalam berbagai operasi melawan pasukan pemuda Indonesia di Surabaya (Jawa Timur) pada awal revolusi kemerdekaan.

Denngan pangkat terakhirnya di Angkatan Laut Indonesia sebagai Kolonel ia sangat bangga. Di Angkatan Laut ia bertugas di pasukan marinir. Berkali-kali ia turut dalam operasi menghadapi pasukan pemberontak di berbagai pelosok Tanah Air yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan ia turut dalam operasi yang berhasil menembak jatuh pesawat yang diterbangkan oleh Alexander Pope, penerbang Amerika yang membantu pemberontak. Bob dan pasukannya itu telah memperoleh beberapa tanda jasa kemiliteran.

Ketika di Angkatan Laut itulah ia banyak berkomunikasi dengan perwira-perwira dari angkatan-angkatan lainnya dan dengan pejabat-pejabat sipil sehingga pergaulannya menjadi luas.  Latar belakang pendidikan Belanda dan pengetahuan umum yang cukup luas dan bahasa Belanda yang dikuasainya membuat ia mudah bergaul  dengan kalangan elite.  Ketika ia pensiun dari Angkatan Laut tidak sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan di bidang sipil. Karena koneksinya itu ia memperoleh kedudukan manajer di suatu perusahaan milik asing.

Namun rupanya ia merasa tidak cocok bekerja di perusahaan minyak itu, terutama karena perusahaan tersebut berlokasi di luar Pulau Jawa. Dalam pada irtu nampaknya ia masih ingin bekerja  di bidang yang bersifat operasional, tidak terlalu bersifat administratif, seperti pada pekerjaannya pada waktu itu. Pada waktu itu banyak perwira-perwira yang masih aktif dari berbagai angkatan yang dikaryakan di berbagai departemen sipil dan perusahaan milik Negara. Di antaranya terdapat perwira-perwira yang ia kenal.

Demikianlah, karena koneksinya yang cukup luas, ia berhasil diterima bertugas di sutau departemen. Ia ditempatkan di suatu instansi yang melakukan koordinasi dan pengawasan atas perusahaan-perusahaan bekas Belanda yang diambil alih dan dikuasai oleh pemerintah I donesia dalam rangka perjuangan memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia. Institusi tersebut dikepalai oleh seorang Brigjen Angkatan Darat.

Bob cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Karena instansi tersebut relatif baru dibentuk, susunan organisasinya belum cukup diatur secara lengkap. Disinilah Bob banyak berperan dengan mengajukan berbagai usul untuk pengembangan organisasi dan tata kerja instansi tersebut, baik ke dalam maupun keluar dalam berhubungan dengan perusahaan-perusahaan yang dikoordinasikan dan diawasi. Personil instansi tersebut sebagian besar pegawai-pegawai sipil dari Departemen yang bersangkutan. Bob membentuk bagian-bagian. Ia membuat susunan organisasi seperti pada instansi militer yang terdiri dari organisasi lini dan staf. Bob menyebut dirinya sebagai Pemimpin Staf.

Perannya sebagai Pemimpin Staf sangat penting, mengingat Kepala Instansi tersebut seringkali tidak berada di tempat karena tugas-tugas lain.

Tidak banyak kesulitan yang dialami Bob dengan anggota-anggota stafnya yang terdiri dari sebagian besar pegawai-pegawai sipil itu. Umumnya mereka melaksanakan saja apa yang diperintahkan.

Tetapi masalah timbul dengan personil yang berada di lapangan, yaitu di perusahaan-perusahaan yang diambil alih dan dikuasai oleh pemerintah yang kemudian menempatkan menempatka  perwira-perwira menengah Angkatan Darat di perusahaan-perusahaan tersebut. Masing-masing penguasa pada perusahaan-perusahan tersebut menjalankan kekuasaan dan kewenangan seolah-olah doreksi pada perusahaan tersebut yang mengalami kekosongan karena orang-orang Belanda yang semula duduk di jabatan-jabatan tersebut telah meninggalkan Indonesia setelah semakin memburuknya hubungan pemerintah Indonesia dengan Belanda mengenai  masalah Irian Barat. Wewenang koordinasi dan pengawasan yang dilakukan oleh Departemen datangnya kemudian. Penguasa-penguasa perusahaan tersebut agak bersikap sungkan untuk menerima begitu saja koordinasi dan pengawasan yang mereka khawatirkan akan membatasi kekuasaan yang selama ini yang telah mereka lakukan pada perusahaan-perusahaan yang bersangkutan, walapun secara resmi mereka apalagi sebagai militer seyogyanya mereka menerima perintah apapun yang diberikan atasan.

Sebagai Pemimpin Staf Bob bertindak selaku pelaksana kepada instansi tersebut. Ia juga perlu berinteraksi dengan para penguasa di perusahaan. Ternyata tidak seorang pun penguasa perusahaan yang mau berkomunikasi dengan Bob. Mereka tidak mau menjawab telepon Bob dan mereka tidak mau datang ketika dipanggil untuk menghadap. Hal ini menimbulkan ketegangan antara Bob dengan para penguasa itu. Kepala Instansi tersebut pada suatu hari memanggil para penguasa perusahaan untuk menghadap untuk memberi penjelasan mengenai instansi yang tugasnya melakukan koordinasi dan pengawasan oleh perusahaan-perusahaan yang dikuasai Negara.

Kepala Instansi berkata:

                “Mengapa saudara tidak melaksanakan instruksi-instruksi Kolonel Humboldt? Bukankah dia Pemimpin Staf yang juga merangkap sebagai komandan di sini?”

Setelah sejenak terjadi keheningan di ruang pertemuan tersebut, salah seorang perwira penguasa perusahaan berkata:

                “Bagaimana kami bisa menaati perintahnya, jenderal, jika pasukan saya di Jawa Timur pernah bertempur melawan pasukan Belanda yang waktu itu dipimpin dia?”

Beberapa penguasa perusahaan lainnya menyatakan hal yang hampir sama.

Kemudian seorang penguasa perusahaan berkata:

                “Kolonel, saya tidak rela diperintah olehnya, karena anggota pasukan saya di Surabaya, yang tertangkap pasukannya, olehnya diperintahkan untuk menelan lencana merah putih yang terpasang di dada anak buah saya. Suatu pebuatan yang kejam.”

Kepala Instansi sejenak diam saja karena sengajaa memberi kesempatan sepenuhnya kepada para penguasa perusahaan untuk menyampaikan unek-uneknya. Kemudian ia berkata:

                “Ya, saya sudah dengar alasan-alasan yang dikemukakan.  Saya memahami perasaan-perasaan tidak senang yang ada pada saudara. Tapi bukankah itu sejarah yang sudah lewat? Kenyataannya, bahwa Indonesia sudah merdeka. Bahkan tentara Belanda di Indonesia, khususnya KNIL telah dilebur ke dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Itu berarti  kita harus melupakan kejadian-kejadian yang lalu kecuali mengingatnya sebagai perjalanan sejarah yang harus dicegah agar tidak terulang kembali. Kita tidak boleh memiliki rasa dendam. Kolonel Humboldt sudah berubah total sejak menjadi anggota Angkatan Laut Republik Indonesia dan berbuat banyak dalam melaksanakan tugasnya sebagai perwira marinir.”

Para penguasa perusahaan hanya diam saja. Sebagai militer apalagi dengan hierarki kepangkatan yang lebih rendah memang mereka tidak bisa berbuat lain kecuali menerima instruksi atasannya.

Pertemuan tersebut berakhir di sana, Kepala Instansi tetap mengharapkanagar para penguasa perusahaan menerima Kolonel Humboldt sebagai Pemimpin Staf dan menjalankan komunikasi sebagaimana mestinya.

Bob mengetahui dan menyadari suasana kerja yang dihadapinya. Memang benar ia pernah bertempur melawan serbuan-serbuan Pemuda Indonesia di awal kemerdekaan karena ia melaksanakan perintah komandan atasannya. Tapi ia sungguh-sungguh menolak bahwa  ia pernah memerintahkan pemuda Indonesia yang ditawannya untuk menela lencana merah putih. Katanya ia tidak tahu jika ada ekses-ekses yang mungkin terjadi. Ia merasa selalu bersikap correct terhadap tawanan-tawanan. Ia bertindak hati-hati. Sifat kekomandanannya selama ini yang sangat menonjol ia kurangi. Ia berhubungan dengan perwira penguasa perusahaan dalam hal-hal yang diperlukan saja yang menyangkut tigas instansi tersebut. Demikian pula para penguasa perusahaan berkomunikasi seperlunya dengan dia.

Dalam hati kecilnya, ia tidak dapat menerima sikap para penguasa perusahaan yang demikian itu. Demikian pula lingkungan yang mulai terpengaruh. Walaupun ia pernah menjadi tentara Belanda, ia merasa juga sudah cukup berjasa senagai anggota Angkatan Laut Republik  Indonesia, tetapi mengapa orang masih lebih berat melihatnya sebagai bekas militer Belanda.

Namun lambat laun Bob merasa tertekan dengan suasana kerja yang demikian. Apalagi atasannya, Kepala Instansi tersebut dirasakannya tidak selalu memberi dukungan kepadanya.

Ketika perusahaan-perusahaan yang diambil alih dan dikuasai tersebut secara resmi dinasionalisasi menjadi milik Negara Republik Indonesia dan instansi koordinasi  dan pengawasan tersebut dibubarkan dan dilebur ke dalam organisasi Departemen yang lain, Bob tidak turut disalurkan. Tidak ada penjelasan yang diberikan kepadanya kenapa ia tidak disalurkan ke jabatan atau instansi lain. Bahkan ia tidak diberi kamar dan meja tersendiri. Padahal walaupun usia bertambah ia merasa fisik dan psikisnya masih cukup mampu untuk memegang tugas apapun.

Ia mencoba untuk menggunakan pengaruh koneksi-koneksinya yang lama, yaitu orang-orang yang pernah dikenalnya ketika ia masih aktif sebagai perwira Angkatan Laut. Tetapi keadaan rupanya sudah berubah. Koneksi-koneksinya yang itupun umumnya sudah tidak mempunyai  pengaruh lagi untuk membantunya. Pernah ia mendengar dari seorang pejabat tinggi  di Departemen bahwa ia diisukan untuk ditempatkan di luar negeri.  Namun ternyata usul itu tidak berhasil lolos dari panitia screening, Bob semakin merasa terpukul.

Sementara itu keadaan rumah tangga Bob pun ternyata selama ini tidak berjalan selalu mulus. Dedikasinya kepada pekerjaan yang sering tidak mengenal waktu karena meghadiri berbagai rapat dinas dan pertemuan sering-sering sampai malam hari.

Bob tidak bisa berbuat banyak terhadap keluarganya. Setiap pertengkaran dengan istrinya atau anak-anaknya membuat mereka pergi meninggalkan rumah. Walaupun ia bekas seorang perwira marinir yang terkenal galak ketika aktif di pasukan tetapi terhadap keluarganya ia tidak bisa berbuat banyak.

Suasana tertekan di kantor dan lingkungan keluarganya membuat ia mengalami frustrasi. Sebagai seorang bekas komandan marinir yang biasa tegas dan tegar ia merasa tidak  harus menyerah pada keadaan. Tetapi nyatanya ia tidak berdaya.

Terakhir diketahui ia sering lari ke minuman keras untuk melupakan keadaan. Juga ia dikabarkan sering mengunjungi panti-panti pijat di berbagai pelosok Jakarta.

Seperti aku kemukakan, lama sekali aku tidak pernah bertemu dengan Bob. Timbullah keinginan untuk mengetahui di mana ia tinggal dan datang untuk melayat.

Setelah menelepon beberapa teman lama ke sana-ke mari aku berhasil menemukan alamat rumahnya. Rumahnya terletak di suatu gang kecil di daerah Matraman. Sebuah rumah kecil yang sederhana dan segala-galanya.

Tidak banyak pelayat yang datang. Tetapi aku lihat ada beberapa mantan perwira Angkatan Laut yang hadir. Pastilah, pikirku, bekas koleganya. Aku lihat istri dan kedua anaknya duduk mengelilingi peti jenazah. Dalam peti jenazah terbaring Bob dengan mengenakan seragam Angkatan Laut. Di dadanya penuh dengan tanda-tanda jasanya, baik sebagai militer Belanda maupun sebagai Angkatan Laut Republik Indonesia. Begitu gagah dia kelihatannya.

Seorang pelayat bekas anak buahnya yang selalu setia kepadanya berdoa untuknya. Bob kabarnya meninggal secara mendadak di panti pijat yang biasa dikunjunginya.

M. Husseyn Umar*
5 Desember 2002
(Dari buku Kumpulan Cerita Pendek:  M. Husseyn Umar  “Selendang Merah dan Cerita Lainnya”)
*Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Bagikan :

Advertisement