NYALANYALI.COM – Kayugiyang, sebuah desa asri di kaki Bukit Kembang, anak Gunung Sindoro, orang kerapkali menyebutnya. Kayugiyang masuk wilayah Kabupaten Wonosobo, kota penuh tabir misteri masa lalu. Lokasi Kayugiyang juga sangat dekat dengan Dieng, terkenal dengan embun upasnya saat menginjak mangsa kasa atau ketiga – terang, sekitar bulan Juli-Agustus. Suhu udara bisa mencapai minus derajat celcius, berbarengan dengan datangnya kabut pekat saat pagi dan sore tiba.
Kayugiyang dihuni oleh sebagian besar penduduk asli, artinya dari jaman dulu hingga kini tidak banyak dari mereka yang berpindah tempat. Umumnya mereka bermata-pencaharian sebagai petani, dapat dilihat dari bentangan ladang kentang, tembakau, dan beberapa tanaman musiman lainnya yang berjajar di kanan-kiri jalan desa. Untuk mencukupi kebutuhan keseharian dan juga pengairan ladang, masyarakat Kayugiyang mengandalkan air yang mereka peroleh dari tuk kuno atau sumber mata air yang telah dimanfaatkan sejak generasi terdahulunya. Tuk-tuk kuno yang seakan memutari desa, menjadi penanda bahwa teknologi pengairan tersebut telah tersedia sejak dulu.

Masyarakat Kayugiyang memiliki beberapa cerita tutur, diantaranya tentang kehebatan pendahulunya, yaitu adanya hubungan kekerabatan antara Kayugiyang dengan Rakai Garung dan Rakai Watuhumalang, para pembesar imperium Medang Mataram di abad ke-9 Masehi. Mereka mempercayai kisah, bahwa wilayah Kayugiyang tercatat memiliki peradaban tinggi dan ikut andil dalam pembangunan Candi Borobudur, tujuh keajaiban dunia itu. Sebaran batuan kuno juga terlihat di beberapa sudut desa, menandakan memang pernah ada peradaban lama di wilayah ini.
Usai berladang, masyarakat Kayugiyang memiliki tradisi jagongan dengan tetangga kanan-kirinya sembari nyeruput teh tubruk dan menikmati mbako klembak menyan yang dilinting menjadi rokok. Mbako khas Banaran menjadi favorit mereka, salah satu dusun penghasil tembakau pilihan dari Kayugiyang. Selain tembakau, Banaran juga terkenal dengan masyarakatnya yang cerdas, kritis, dan pandai berspekulasi. Tak heran jika banyak pengusaha muda Wonosobo berasal dari dusun ini. Tak tanggung-tanggung, pemilik sebagian kios-kios yang berjajar di sepanjang jalanan kota Wonosobo berasal dari Banaran, dusun terpencil di Desa Kayugiyang.
Ada sesuatu yang menarik untuk diulik dari sisi sejarah dan antropogis masyarakat Banaran. Terdapat sebuah cerita tutur tentang Raden Kamandaka di dusun ini. Loh, bukankah tokoh ini berasal dari Tanah Sunda? Adakah hubungannya dengan Banaran? Penelusuran dimulai dari seorang sesepuh desa yang berkisah, bahwa terdapatlah batu kuno yang dikeramatkan di sudut dusun. Warga Banaran menyebutnya Watu Plangkringan, artinya batu tempat hinggap atau bertenggernya ayam jago. Selanjutnya, apakah hubungan antara Raden Kamandaka dengan Watu Plangkringan? Mari kita ulas.
Tutur tinular, kisah itu berasal dari generasi pendahulu dan dikisahkan kembali ke penerusnya. Cerita tutur memiliki kesamaan seperti permainan ‘Pesan Berantai’, semacam permainan asah otak untuk kemampuan menangkap dan mengingat untaian kata yang berupa kalimat dari penutur pertama, ke-dua, ke-tiga, dan seterusnya. Kalimat dari penutur pertama akan disampaikan ke penutur ke-dua tanpa diketahui oleh penutur lainnya, lalu penutur ke-dua ke penutur ke-tiga, begitu seterusnya hingga tibalah ke penutur terakhir.
Pesan yang tersampaikan kepada penutur terakhir akan dicocokkan isi kebenarannya dengan penutur-penutur sebelumnya. Dalam prakteknya, ada beberapa kata yang mungkin tidak tersampaikan karena lupa atau sengaja dihilangkan karena dianggap tak terlalu vital. Sementara itu, ada kata-kata yang selalu diingat dan disebut berulang-ulang karena merupakan kata kunci. Dapat disimpulkan, bahwa untaian kata yang tersampaikan dalam permainan ‘Pesan Berantai’ pasti ada pengurangan dan penambahan, tetapi tidak mengurangi esensi isi pesan yang disampaikan hingga ke penutur terakhir.
Maka yang dapat digaris-bawahi adalah, permainan ‘Pesan Berantai’ memiliki kesamaan dengan cerita tutur atau folklore. Kebenaran sebuah peristiwa akan menjadi absurd manakala terjadi pengurangan dan penambahan isi cerita, tetapi tetap menyimpan kata kunci yang tersampaikan berulang-ulang sebagai bagian vitalnya. Karena keterbatasan kemampuan kita dalam menguraikan isi cerita, alhasil seringkali cerita tutur dimasukkan ke ranah mitologi.
Kembali ke cerita tutur masyarakat Banaran, tentang keberadaan Raden Kamandaka dan Watu Plangkringan. Raden Kamandaka terkenal sebagai sosok yang memiliki binatang klangenan seekor ayam jago yang selalu menang dalam aduan, sedangkan masyarakat Banaran memiliki sebuah situs Watu Plangkringan. Terdapat benang merah dari dua kisah tersebut, yaitu ‘Raden Kamandaka’ yang identik dengan ‘ayam jago’ dan situs ‘Watu Plangkringan’ yang dimungkinkan sebagai ‘arena adu jago’ di masa lalu.
Penuturan beberapa sesepuh Kayugiyang, bahwa dahulu memang ada hiburan rakyat, yaitu adu jago di Banaran yang selalu dibanjiri penonton dari berbagai daerah. Arena adu jago tersebut dimungkinkan adalah Watu Plangkringan. Adanya perubahan zaman akhirnya Watu Plangkringan dijadikan monumen pengingat karena sudah tak terpakai di era selanjutnya, lalu kini dikeramatkan oleh masyarakat Banaran. Kebenaran peristiwa lambat laun menjadi buram dan simpang siur, menyisakan kisah yang telah mendapat pengurangan dan penambahan isi.
Selanjutnya, kesimpulan apa yang dapat diambil dari cerita tutur Watu Plangkringan Banaran? Dalam praktek adu jago dibutuhkan keahlian dan ketangkasan bermain, kecerdasan berstrategi, serta keberanian berspekulasi. Semua itu dimiliki dan digunakan pemain adu jago agar menjadi pemenang, mulai dari pemilihan bibit jago aduan, perawatan jago aduan, start penyerangan lawan, mencari titik lemah lawan, bahkan para pemain adu jago akan memakai petungan Jawa yang mereka yakini akan sangat membantu mencapai kemenangan.
Dari sinilah genetik super itu terbentuk. Sejak dulu masyarakat Banaran terbiasa dengan hal-hal yang membutuhkan spekulasi tinggi, aktivitas menantang, dan sesuatu yang cerdik, maka tidaklah mengherankan jika genetik tersebut akan menurun kepada generasi setelahnya.
Waktu terus berlalu, keberadaan dan aktifitas masyarakat dulu akan tergantikan oleh masyarakat kini. Kegiatan adu jago tak lagi ditemukan di kehidupan masa kini, yang tertinggal hanyalah situs Watu Plangkringan yang oleh masyarakat setempat telah dibangun menjadi cungkup dan dikeramik. Kajian secara etnografis terhadap masyarakat Banaran memperoleh kesimpulan, bahwa kepandaian dan kecerdasan dari pendahulunya ternyata telah diturunkan. Melihat sampai saat ini Dusun Banaran terkenal dengan masyarakatnya yang jenius. Ya, genetik cerdas itu berasal dari Plangkringan jago.
AGUSTIN ARIANI – WONOSOBO
Filolog dan peneliti independen