MEREKA CUKUPKAN…

Ayah Karta mengabarkan Sungai Ciparahiang yang berada tepat di sisi kampung dan menjadi sumber penghidupan Baduy Dalam Cibeo, tak kering meski kemarau tahun ini cukup lama.

“Cukup buat minum, cukup buat mandi, cukup buat cuci-cuci, cukup saja,” kata dia, sambil tertawa.

Lebih 10 tahun mengenal mereka, tak pernah sekalipun mendengar mereka menggerutu terhadap kekurangan yang diberikan alam kepadanya. Di musim kering seperti ini, kami pernah ke sana, dan debit air Kali Ciparahiang dan Kali Ciujung yang membatasi Baduy dalam dan Baduy luar biasanya sangat surut, hingga batu-batu kali menghampar menyembul. Apa yang dikatakannya? “Cukup”. Mereka tak pernah menuntut alam memberikannya berlebihan, cukup saja dan selalu mereka syukuri.

Bagaimana kita?

Bagaimana mereka berladang pun tak berlebihan pula. Cukup luasnya untuk menanam padi, untuk satu keluarga meskipun kalau mereka mau bisa berhektar mereka miliki. “Untuk apa punya banyak ladang kalau tidak bisa merawatnya. Tanah ini juga bukan punya kita. Kalau mati, baru kita punya karena ada di dalamnya,” kata ayah Zakri, sebelumnya. Tertawa dia.

Bicara kematian dengan mereka selalu menarik. Keingintahuanku pun selalu terpancing. Bagaimana tidak, membicarakan kematian mereka biasa saja entah orangtua atau istri dan anaknya yang lebih dulu berpulang. Mereka seperti membicarakan hal lumrah lainnya. Buat mereka justru lucu melihat wajah kita yang disetel prihatin dan turut berduka cita.

“Biasa saja. Sudah waktunya, kan? Siapa nanti yang tidak mati?” jawab ayah Karta, selengekan dan justru menggedor-gedor kesadaranku.

Benar bahwa sehebat apapun orang dan seterpandang bagaimanapun, setiap manusia mesti mati. Tapi orang-orang Baduy dalam ini tak pernah takut terhadap kematian itu. Mereka menceritakan biasa saja. Bahkan dengan tertawa-tawa bagai lelucon kehidupan. Siapkah kita seperti mereka?

Dan, asal-usul mereka berkali-kali kutanyakan kepada setiap saudara Baduy dalam yang kutemui. Apakah nenek moyangnya pelarian Padjajaran? Tidak. Apakah orang-orang yang berpindah dari desa ke hutan entah sebab apa? Tidak. Mereka mengakui keturunan junjungan nabi Adam. “Seperti biji yang ditanamkan, sejak dulu kami sudah di sana,” kata ayah Karta.

Apakah ada yang ingin mendebatnya?

Cukup buat mereka semuanya. Tak mengeluhkan apapun juga. Jika hujan, berteduh. Jika lelah berjalan, berhenti. Adakah merasakan sedih duka? “Pasti ada. Tapi tidak perlu dilihatkan ka urang lain. Tidak perlu diceritakan ka urang lain. Urang lain pasti lebih senang lihat kita orang tertawa,” ayah Karta, bicara. Dor!

S. DIAN ANDRYANTO
#sayabelajarhidup

Bagikan :

Advertisement