NYALANYALI.COM – “Novel Baswedan Pimpin Tim yang Tangkap Penyuap Nurhadi”, begitu judul berita di kumparan.com, 30 Oktober 2020 lalu. Dalam artikel itu, Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, menyebutkan bahwa tim penyidik yang menangkap Direktur Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto, yang telah buron sejak 14 Februari 2020 lalu, adalah tim sama yang sebelumnya berhasil meringkus mantan Sekretaris MA, Nurhadi.
Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyonom didakwa menerima suap dan gratifikasi dari Hiendra, talk kurang dari Rp 83 miliar pada rentang 2012-2016, terkait pengurusan perkara di pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.
Publik, sudah terinformasi bahwa Novel Baswedan memimpin tim KPK yang menangkap Nurhadi di sebuah rumah di daerah Simprug, Jakarta Selatan, 1 Juni 2020. Artinya, Novel dan tim ini pula yang membekuk penyuap Nurhadi.
Dalam keterbatasan penglihatannya, karena teror penyiraman air keras ke wajah penyidik senior KPK itu, tak membuat Novel kendur memerangi korupsi di negeri ini. Kiprahnya masih membuat ketar ketir para koruptor di negeri ini.
Namun, tak banyak yang tahu kisah masa kecil dan remaja Novel Baswedan. Ia [ermah tinggal di kampung yang orang kenal sebagai tempat premanisme. Meskipun tumbuh dari keluarga besar yang terpandang dan dihormati warga sekitar Sumur Umbul, Semarang, tapi kondisi ekonomi mereka tak terlalu baik. Harus berpindah-pindah rumah kontrakan, dan bertahan hidup.
“Semua makanan rasanya enak, karena susah kondisinya, kalau bisa jajan gandos (makanan khas Semarang dari kelapa) sudah bukan main senangnya,” kata Novel, mengingat masa kanak-kanaknya. “Saya pemalu dan cenderung minder,” katanya, kepada Redaksi NyalaNyali.com. Begini kisah selanjutnya:
Seberapa sulit kondisi keluarga Anda saat itu?
Ketika saya masih tinggal di Sumur Umbul, kalau tidak salah saya kelas tiga SMP, saya pernah bekerja. Walaupun orangtua tak membolehkan saya bekerja, tapi saya melihat kondisi orangtua yang sulit, saya paham.
Meskipun saya tidak disuruh orangtua bekerja, orasngtua melarang, tapi sebagai seorang anak ingin berupaya meringankan beban orangtua. Waktu itu saya akan masuk SMA, ada kesulitan biaya, padahal sudah mau ke sekolah negeri, biaya murah, itupun masih kesulitan.
Apa yang Anda lakukan?
Saat kelas tiga SMP tadi, saya beranikan diri datang ke seorang tetangga. Orang ini dari juga lemah kondisi ekonominya, tapi punya keterampilan menukang meski jasanya jarang dipakai orang karena tidak punya tim. Saya datang mau bekerja menjadi keneknya dia. Saya datangi dia, ”Mas, ada kerjaan nggak”.
Apa jawabnya?
Marah dia ha-ha-ha. Dia takut disalahkan oleh keluarga saya. Dia terus melarang. Saya terus mendesak ingin kerja dengan dia. Akhirnya dia membolehkan saya bekerja. Tentu saja saya diam-diam, supaya tidak ada keluarga yang tahu.
Saya menjadi kuli, menjadi kenek tetangga saya itu merehab rumah orang sekitar 3 km jaraknya dari rumah. Menjadi pembantu tukang apa saja saya lakukan mulai mengaduk adonan semen, pasir dan batu. Terus, angkat sak semen, angkat batu, memecah tembok yang akan direhab itu.
Bagaimana rasanya menjadi kuli bangunan saat itu?
Pertama kali bekerja seperti itu ya lumayan. Ha-ha-ha. Sebelumnya saya punya pengalaman hidup di alam keras, nggak terlalu halusan juga. Kecuali mungkin anak rumahan, bisa kaget, Alhamdulillah saya sudah terbiasa.
Lantas?
Nah, ini yang menarik. Pada hari kedua saya bekerja bangunan itu, saya ternyata baru tahu lingkungan tempat saya kerja itu banyak teman-teman sekolah, bukan sekelas sih. Waktu saya di depan rumah yang dibangun itu, pas sedang mengangkat sak semen, teman saya lewat ha-ha-ha.
Namanya anak-anak, mereka berteriak sambil sebangsa mungkin maksudnya bukan olok-olok, biasa bercanda, tapi malu saya waktu. “Itu ada Novel, jadi kuli, jadi kuli”. Diteriaki di depan rumah, saya saat itu malu sekali, karena kerja sembunyi-sembunyi. Mungki kalau sekarang disebut bullying.
Pada dasarnya saya pemalu waktu itu. Saya waktu sekolah selalu berpakaian rapi dan bersih, ibu saya sangat memperhatikan itu. Mereka kira saya anak orang cukup berada secara ekonomi ha-ha.
Apa yang Anda lakukan saat itu?
Hebatnya, istri yang punya rumah sedang dibangun itu mencoba ‘menyelamatkan’ saya. Dia bilang, si Novel ini adalah kepanakan saya, sedang kerja bantu dia, begitu katanya. Mungkin dia tahu saya malu, dia mau membantu saya. Memang, satu sisi saya berpikir saat itu malu, tapi belakangan saya menilai itu adalah titik balik saya.
Titik balik?
Ya, saya bertemu pada satu kondisi sedang kerja jadi kuli seperti itu, awalnya malu, tapi itu mendidik saya untuk tidak boleh malu, kecuali malu berbuat yang salah, malu berbuat hal-hal yang memalukan. Saya bekerja agar saya punya biaya melanjutkan ke SMA mengapa harus malu, ini perbuatan baik dan tidak memalukan. Kejadian itu banyak mengubah pribadi saya, untuk pendidikan kehidupan sehari-hari.
Selain menjadi kuli bangunan, apa lagi yang Anda lakukan masa remaja dulu?
Alhamdulillah, saya denga bekerja mempunyai penghasilan. Ketika kelas 5 SD, saya sering melihat ibu saya mengajarkan memberi les matematika kepada anak tetangga, keluarga Chinese yang sangat dekat dengan keluarga kami. Ibunya bersahabat dengan ibu saya. Kalau ibu saya ada halangan atau kepentingan lain, saya yang mengganti mengajarkan les itu.
Nah, waktu saya menjadi tukang bangunan itu, saya dengar ibu pemilik rumah sering memarahi anaknya karena tidak bisa belajar matematika. Saya ingat, ibu itu membantu saya waktu teman-teman menertawakan pekerjaan saya, saya kemudian menawarkan untuk mengajarkan anaknya belajar matematika. Saya kelas 3 SMP, dan anak itu kelas 5 SD saya kalau tidak salah.
“Bu, boleh saya ajarkan matematika anak ibu? Saya yakin nanti anak ibu bisa, tidak perlu dimarahi”. Dulu, untuk ngomomng bgeitu saja saya tidak berani, saya menjadi sedikit berubah karena keadaan itu.
Menjadimtukang dan memberi les matematika juga akhirnya?
Aktivitas setelah selesai bekerja menjadi kenek bangunan, tukangnya pulang, saya mengajari anak itu matematika. Alhamdulillah, pengalaman berikan les dulu gantikan ibu saya bisa diprakttekan lagi. Saya berusaha beri penjelasan yang dipahami anak itu, dan dia bisa kerjakan tanggungjawabnya. Ibu itu senang sekali, saya dapat hadiah bukan bayaran ha-ha. Hadiahnya itu membuat penghasilan saya sebagai kenek jadi lebih besar daripada tukangnya ha-ha-ha
Sangat menarik kisahnya. Lalu?
Selesai bekerja semua itu, akhirnya saya beritahu ke Ibu, Bapak dan keluarga bahwa saya punya penghasilan dan bisa masuk SMA dengan bayar sendiri dan masih ada kelebihannya bisa dipakai untuk kebutuhan lain.
Kemudian saat SMA, saya bekerja dengan teman, kemudian bekerja dengan membuka usaha sendiri. saya pindah lagi sendiri, dari Sumur Umbul ke daerah Pucang Gading sekitar usia 16 tahun, merintis usaha penyediaan material dan pembuatan bis beton, pilar rumah, batako, paving blok dan semacam itu. Usaha saya maju dan bahkan bisa beli mobil pikap, beli sepeda motor, dan rehab rumah sendiri.
Sekitar 2-3 tahun usaha itu saya jalankan, sempat pula membangun tempat perkantoran. Setelah itu masuk Akpol (Akademi Kepolisian).