Ajeng Raviando, Psi.: Masa Pandemi Jangan Abaikan Kesehatan Mental, Waspada Cabin Fever

NYALANYALI.COM – Lebih dari 20 tahun Ajeng Raviando, Psi. berpengalaman di bidang konseling, asesmen, pelatihan dan pengembangan diri. Kini, alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI)  ini bergiat sebagai mentor aplikasi Kejar Mimpi.

“Saya ini tergabung dalam Kejar Mimpi, sebagai mentor, pembicara dan key opinion leader, ini sebuah aplikasi yang diinisiasi CIMB Niaga untuk membantu generasi muda Indonesia meraih impian, jadi di sana menerapkan nilai positif, ada motivasi dari sisi finansial planner, psikologi, dan berbagai sisi lainnya,” kata Ajeng.

Ia pun menjadi psikolog di Teman Hati  Konseling dan Pulih @The Peak. Juga, sebagai fasilitator di Talk inc Jakarta, Look Modelling School Jakarta, serta menjadi pembicara di berbagai seminar, webinar, kulwap, dan narasumber di televisi serta menulis untuk berbagai media di Indonesia terkait dengan dunia psikologi dan kesehatan mental.

Ajeng mengakui stigma orang datang ke psikolog berarti mengalami gangguan jiwa berat atau gila, masih tertanam di benak masyarakat. “Meskipun sepuluh tahun terakhir terdapat perubahan stigma itu, kalau aku merasa media lah yang sangat membantu kami untuk mempublikasikan dan sounding ke masyarakat bahwa tak perlu takut ke psikolog,  karena yang pergi ke psikolog tidak berarti mereka mengalami ganguan jiwa berat,” kata dia.

BACA
Ajeng Raviando, Psi.: Kenapa ke Psikolog, Memangnya Gila? Stigma Ini Harus Diubah

Urry Kartopati dari Redaksi NyalaNyali.com berbincang dengan Ajeng Raviando, Psi. terkait psikologis yang dihadapi masyarakat di masa pandemi Covid-19 ini. Berikut petikannya:

Dalam situasi pandemi seperti sekarang, banyak yang datang untuk konsultasi atau terapi?

Iyabanyak. Terkait dengan masa pandemic, klien saya meningkat tiga kali lipat. Banyak yang bilang enak karena jadi banyak klien, tapi bagi saya hal ini benar-benar memprihatinkan. Ini menggambarkan bahwa kondisi di masyarakat secara umum bergejolak.

Biasanya dalam kondisi peperti ini, klien yang kita terima gangguan psikologinya cukup berat, bahkan saya ada tiga klien yang mau bunuh diri. Dengan gangguan mental yang cukup sulit untuk ditangani. Hal ini kadang berpengaruh pada psikolognya juga.

Ternyata pandemi berpengaruh hebat juga dari sisi kejiwaan ya?

Iya. Saya bahkan punya beberapa klien dari luar negeri (orang indonesia yang tinggal di luar negeri). Dulu ada satu atau dua orang, nah sekarang ini lebih banyak karena tekanan mereka lebih berat, karena nggak bisa pulang ke mari dan sebagainya.

Jadi kondisi kesehatan mental dan psikologis kita selama masa pandemi ini nggak mudah, banyak yang stres, banyak yang depresi, gangguan kecemasan juga. Ini adalah dampak negatif dari pandemi. Karena yang kita  bicarakan ini adalah perubahan yang ekstrim.

Bagaimana kondisi masyarakat kita secara psikologis  pada situasi ini?

Karena ini terkait dengan berbagai hal, termasuk menyangkut kondisi ekonomi atau finansial sebagai kebutuhan pokok kita .Selama ini kita fokus pada kondisi fisik kita dalam menghadapi pandemi, padahal jangan dilupakan kondisi mental kita juga perlu dijaga, loh. Hal ini kadang yang terlewat karena terus mengurusi kondisi fisik, gak keburu ngurusin yang lain, yang penting fisik sehat.

Sisi kesehatan mental perlu disiapkan juga, ya?

Padahal kalau bicara pandemi kita bicara soal quarantine live emotional journey,  banyak orang dari awalnya nggak sadar, saat  mengalami shock, kemudian ada denial-nya juga, kemudian muncul  juga celebration-nya, senang kerja di rumah dengan harapan dua bulan selesai.

Tapi ternyata kan ekspetasi ini tidak tercapai. Antara ekspektasi dan kenyataan berbeda, yang  kemudian menumbuhkan gangguan panik dan kecemasan berat. Di tahap ini gangguan psikologisnya mulai muncul, setelah itu muncullah banyak hal.

Jadi, bagaimana psikologis yang dialami masyarakat secara umum?

Jadi  di awal, ketika awal, saat mengalami shock dan denial, banyak orang yang mengalami psikosomatis, jadi dia merasa kena Covid, batuk sedikit paniknya bukan main, sementara takut ke rumah sakit. Ini banyak sekali yang seperti ini.

Sebagai psikolog, saya menduga pasti sebulan pertama banyak orang yang akan mengalami gangguan kecemasan, akan terjadi turbulensi, naik turun semuanya.

Benar saja, klien-klien saya yang sudah lima tahun baik-baik  saja, datang lagi. Karena muncul kembali gangguan kecemasannya. Itu sebabnya banyak yang datang ke saya, karena selain yang memang dari awalnya sudah punya bibit kecemasan dan mereka yang belakangan punya gangguan kecemasan.

Dan, kondisi panic and anxiety (panik dan kecemasan berat) ini bisa menimbulkan frustrasi, karena tidak ada solusi. Kondisi sulit karena pekerjaan, urusan rumah tangga dan lainnya

Salah satunya, menyebabkan di beberapa daerah tingkat perceraian juga semakin tinggi?

Benar. Saat kondisi pandemi, konflik rumah tangga semakin berat. Suami istri jadi sering bertemu, karena semua kegiatan dilakukan di rumah. Yang semula hanya bertemu dua, empat atau lima jam, sekarang  bisa 24 jam, kan, karena nggak bekerja di luar rumah lagi. Yang semula  kalau ada konflik bisa dilewati karena tidak 24 jam bersama pasangan, sekarang nggak bisa lagi. Itu yang menyebabkan tingkat perceraian tinggi.

Yang saya alami, dulu ketika mereka datang konseling masih dalam kondisi berpikir akan bercerai. Sementara, sekarang ini mereka datang konseling tetapi dalam kondisi yang sudah memutuskan akan bercerai karena nggak tahan, konfliknya sudah semakin tinggi. Ketika konfliknya tidak terselesaikan sementara komunikasi memburuk, itulah yang membuat frustrasi.

Masalah lain yang muncul?

Belum lagi ada masalah yang namanya cabin fever, jadi kondisi di mana kita ada di rumah terus, jadi seperti terpenjara, maka munculah kemudian gangguan-gangguan emosi yang lain. Sekarang, semua kan dilakukan di rumah, belajar dari rumah, bekerja dari rumah, semua dilakukan di dalam rumah sehingga seperti terbelenggu.

Nah, sehingga kemampuan mengelola emosinya kurang baik. Karena sebelumnya saat kita bekeja di luar,mungkin kondisi emosi masih bisa di manage. Sekarang ini, saat ada persoalan di pekerjaan jadi mudah tertekan, belum lagi karena anak belajar dari rumah, itu membutuhkan penanganan tersendiri, karena ternyata tak semua orang tua bisa menjadi pendamping bagi putra-putrinya saat belajar, apalagi kalau anaknya balita. Menjadi guru, atau mengajari anak kan tidak mudah.

Ganguan emosional ini yang menyebabkan frustrasi dan ini yang kemudian memicu munculnya gangguan psikologis.

Bagaimana solusinya,agar kita tidak sampai ke tahap tersebut?

Kondisi yang sangat menekan ini bisa diatasi jika kita bisa sampai ke tahap berikutnya, yaitu sudendly inspired? Sebetulnya ketika kita dihadapkan pada  situasi di rumah aja, ketika harus self carantine,  ada sisi positifnya. Karena sebenarnya jadi punya kesempatan untuk discovery our self. Ada kondisi yang kemudian dia bisa melakukan hobinya, jadi lebih tahu apa saja yang bisa dilakukan, banyak juga yang kemudian menemukan potensi lain dalam dirinya yang semula tidak dia sadari.

Dari sisi positif, masa pandemi ini sebenarnya bisa menggali potensi diri yang selama ini tidak tereksplorasi, ya?

Banyak potensi diri yang bisa dimunculkan dalam situasi seperti ini, jadi banyak yang bisa masak, bikin kue, jadi penulis,dan banyak hal lainnya.

Salah satu klien saya, yang mengalami depresi berat karena perceraiannya, dia melakukan pencapaian yang luar biasa. Di saat masa berkabungnya dia berhasil menulis buku dan diterbitkan, yang luar biasa dalam delapan bulan ini dia sudah akan menerbitkan buku yang ke-3.

Ya, jadi fluktuasi emosinya ini malah membuat dia jadi menemukan potensinya yang lain. Discovery herself nya bagus, dia bisa menemukan dirinya lengkap dengan passion dan potensi-potensi yang dulunya terkubur, yang tak sempat untuk dieksplorasi, atau takpunya wakyu untuk dikembangkan lebih baik.  Ini kalau yang suddenly inspired. Tapi  ada juga yang juga yang mengalami sebaliknya.

Situasi yang tidak mudah juga, bukan?

Ketika kita  tetap bisa “waras” di kondisi pandemi ini, itu sudah sebuah pencapaian. Karena banyak orang jadi stres, ketika melihat banyak orang-orang disekelilingnya bisa survive dengan kegiatan-kegiatannya yang baru, sementara dia tidak menemukan potensinya. Saat ia melakukan social comparism,  justru membuat stres. Karena dengan di rumah saja ini jadi banyak punya waktu untuk mengeksplorasi sosial media, bahkan ada penelitian yang menyebutkan situasi pandemi ini membuat orang bersosialmedia lebih dari 12 jam. Karena nggak ada yang dikerjakan, gak ketemu orang. Banyak main sosmed, hasilnya bisa terinspirasi, bisa juga depresi.

Bagikan :

Advertisement