Kisah Hiruk Pikuk Belajar Online

NYALANYALI.COM – Pandemi Covid-19 masih belum juga mereda. Anak-anak sekolah belajar online atau daring dalam bataswaktu tak tentu, dibelenggu kebosanan dan selalu mengumbar tanya, “Kapan bisa bertemu teman dan guru kembali?”. Para orang tua tak kalah gelisahnya, ingin anak sekoilah kembali tapi tak ingin anak terpapar virus corona pula. 

Proses belajar online atau pelajaran jarak jauh (PJJ) ini nyaris satu tahun berjalan bagi anak-anak sekolah di segala tingkatan, dari murid TK hingga mahasiswa. “Batas waktu yang ditentukan untuk mengumpulkan tugas memang efektif mendisiplinkan anak-anak agar mereka tidak terlena dengan keadaan. Namun, bagaimana dengan sebagian kami yang hanya memiliki satu ponsel dan harus dipergunakan untuk bekerja diluar rumah?,” kata Dwi Ratna di Malang, Jawa Timur.

Sedangkan Erma Soraya di Cibinong,  menyampaikan keprihatianan pula bahwa ada saja teman-teman anaknya sampai saat ini masih mengalami kesulitan mengikuti dan mencerna pelajaran yang dijelaskan para guru bidang studi. “Dan, ternyata orang tua beberapa murid ini masih kurang  aware terhadap proses belajar online ini.  Tentu saja ini menjadi masalah tersendiri,” katanya.

Berikut “kelas” hiruk pikuk para orang tua yang turut tunggang langgang menjadi guru akademis di rumah untuk anak-anaknya. Entah sampai kapan.

Maria Regina Ina, ST
Wiraswasta – Larantuka, Flores Timur, NTT

“Hal pertama yang saya rasakan sebagai Ibu adalah sangat sulit menjadi seorang guru. Saya  menghadapi satu orang anak saja susah, bagaimana guru berhadapan dengan 25 orang anak di kelas dengan perangai dan sikapnya masing-masing.  

Karena itu, saya merasa perlu untuk memikirkan sebuah metode tatap muka yang aman dari potensi penyebaran Covid-19 bagi semua. 

Tentang sarana penunjang, saya termasuk yang cukup bersyukur bahwa secara kebetulan ada laptop yang bisa dipakai anak tanpa perlu mengganggu pekerjaan kami, juga handphone yang biasa dipakai anak. Persoalan kuota paket data memang menjadi kesulitan sendiri di tengah tekanan Pandemi Covid-19. Semoga ada solusi kuota paket data dari operator yang dijual dengan harga lebih murah untuk pelajar. 

Belajar online membuat saya sebagai orang tua menjadi lebih dekat dan punya banyak waktu dengan anak di rumah. Tapi, di sisi lain saya juga harus pontang panting mencari materi tentang tema pelajaran yang sudah jauh berbeda dengan jaman saya sekolah. Dan betapa hal itu menjengkelkan karena menyita banyak waktu yang dengan sendirinya membuat pekerjaan utama saya dapat saja terhambat. 

Hal menarik yang saya amati dalam belajar online saat mereka mengikuti pelajaran/ujian dengan video conference. Jaringan seluler yang tidak stabil membuat kegiatan terhenti. Pembacaan soal atau penjelasan terhenti karena salah satu siswa atau gurunya sendiri yang terganggu jaringannya. Zoom kemudian menjadi ramai oleh anak-anak yang masih terhubung menunggu sang guru bergabung lagi. Itu kelakuan Franklyn Korohama, anak kami yang bersekolah di SD Katolik La Mennais Larantuka, Kelas V.A-10 tahun.”

Yolanda Medya N.D
Wirausaha – Yogyakarta

“Ada kejadian lucu, satu ketika anak kedua kami, Naura Almiera Tsabita F (7 tahun), kelas 2, yang bersekolah di SD Budi Mulia Dua Pandeansari Jogja, lupa ada Zoom pelajaran jadi dia buru-buru menyiapkan segala sesuatunya, setelah masuk Zoom ternyata yang di klik Zoom kelas kakaknya (Najwa Alievia Tabina F, kelas 6, do sekolah yang sama. Guru di kelas kakaknya menjadi agak terkejut,  “Naura siapa ya?”, untung ada teman Najwa yang memberi tahu itu adiknya. Kakaknya malu, adiknya santai saja leave group salah kamar tanpa bersalah.

Memang, selama masa pandemi dan belum terealisasinya vaksin pada anak-anak sebaiknya belajar online masih menjadi opsi yang paling baik, karena kalau tatap muka berlangsung akan membahayakan mereka karena anak-anak lebih rentan tertular. Tapi anak sulung kelas 6  masih masuk seminggu 2 kali, kami selaku orang tua mengijinkan karena seusia mereka bisa lebih diarahkan untuk taat protocol kesesehatan. Sedangkan anak kedua yang duduk dibangku kelas 2, kami belum memberi ijin karena masih sulit taat prokes terutama jaga jarak dengan teman-temannya. Untuk masalah kuota bantuan dari dinas Pendidikan cukup membantu.

Nah, persoalan suka dukanya begini. Dukanya kalau pas ada masalah Internet mau upload jadinya  loading melulu, itu sangat menguji kesabaran.”

Sita
Jakarta

“Jika kondisi belum membaik dan jika memungkinkan, kami memilih untuk tetap belajar dari rumah, meskipun sudah dibuka. Alhamdulillah meskipun awalnya banyak kesulitan, kami bisa menyiapkan laptop dan handphone, tambahan kuota juga diberikan pemerintah setiap bulan.

Selama proses belajar online ini, bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak, dan melihat perkembangannya secara langsung. Meskipun penyesuaian proses belajar, dan orang tua harus banyak belajar untuk bisa membantu anak. Anak jadi terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar. Proses belajar mengajar kurang maksimal, jika dibandingkan dengan tatap muka

Banyak cerita menarik selama ini, karena belajar di rumah, dan rumahnya kecil, kadang kalau sedang belajar, berbarengan dengan orang tua meeting atau tiba-tiba tukang sayur lewat sambil teriak-teriak sehingga masuk di Zoom.”

Dwi Ratna
Penulis, Wirausaha – Malang


“Selama hampir setahun belajar dari rumah, tentu tidak mudah untuk kami para orang tua, sebab kami harus benar-benar bisa membagi waktu antara bekerja, mengawasi dan mengajari mereka saat mendapatkan tugas dari sekolah. Pun anak-anak, mereka yang terbiasa bertemu banyak teman dan melakukan berbagai kegiatan diluar rumah, mau tidak mau harus terbatas kegiatan dan ruang geraknya.

Belum lagi paket data yang harus dibeli dengan menyisihkan sebagian uang belanja, bahkan terkadang sebagian wali murid harus rela jatah beras berkurang dan mencari hutangan demi bisa membeli kuota internet untuk lancarnya proses belajar.

Beruntung anak-anak kami mendapatkan bantuan SIM card yang berisi pulsa dan paket data beberapa waktu lalu, tetapi sayangnya, SIM card yang diberikan tidak dapat difungsikan secara maksimal, bahkan bisa dikatakan tidak dapat dipergunakan. Karena apa? Letak geografis tempat kami tinggal, tidak semuanya bisa menerima sinyal dengan lancar.

Belum lagi kami harus berubah menjadi monster mengerikan bagi mereka, karena kami tidak punya bekal akademis sebagai pendidik, di saat mereka kebingungan tidak tahu jawaban dari  soal yang diberikan, karena mereka belum mendapat penjelasan, juga paket data mulai pas-pasan untuk berselancar di Internet.

Bersyukur Rara, 12 tahun, yang sekarang duduk dibangku kelas 6 dan Fafa, 9 tahun, yang sekarang sudah kelas 4 di SDN 2 Girimoyo, Karangploso, Malang, memiliki pendidik yang mempunyai toleransi tinggi, bisa memahami keadaan ekonomi dan kemampuan akademis peserta didiknya. Rara dan Fafa, yang mewakili jutaan anak negeri menghadapi ketidaknyamanan pandemi masih bisa berprestasi dari rumah tanpa harus ke sekolah.”

Melani Emilia
Ibu Rumah tangga – Pondok Cabe. Tangerang Selatan

“Anak lebih baik belajar tatap muka dengan sistem shift masuk atau bergantian dengan kapasitas 50 persen dari jumlah murid, untuk kesiapan sangat kurang karena tidak semua orang tua mempunyai ponsel yang speknya memadai untuk menjalankan sistem belajar online, tambahan kuota diberikan tapi tidak memadai karena terkendala signal.

Ada Sukanya, tidak antar-jemput anak ke sekolah (Deandra Shidqia Ramadhani, umur 6,5 tahun, sekolah di MI Nurul Huda, kelas 1, dan Mirza Ahzaghani, kelas 4, umur 9,5 tahun di sekolah yang sama). Dan, susahnya untuk Ibu rumah tangga sangat kerepotan karena selain mengurus rumah tangga ditambah mengajari anak untuk belajar online. Ujung-ujungnya ibu-ibu pun ikutan stres.

Ari Susanti
Ibu Rumah Tangga – Yogyakarta

“Di masa pandemi, sebaiknya belum belajar tatap muka dulu. Tetap daring saja, karena di wilayah Jogja sekarang ini jumlah penderita tambah banyak. Jika diadakan sekolah tatap muka, akan sangat membahayakan kesehatan siswa, keluarga siswa, dan pihak sekolah. 

Dan, sebagai orang tua, kami lebih nyaman dan aman dengan sekolah daring, mengingat efeknya jika diadakan sekolah tatap muka. Namun kami harus stand by uuntuk mengingatkan anak dengan waktu daring agar on time, dan juga mengerjakan tugas selesai tepat waktu, agar tidak menumpuk tugas, jika menunda mengerjakan. Selain itu, kami tetap pantau kegiatannya, karena godaan online seperti anak jadi lebih leluasa main game, sosmed di ponselnya. Kami jadi harus ekstra memantau.

Sehingga koordinasi orang tua, sekolah dan siswa sangat penting agar semua berjalan lancar sesuai “schedule”. Sukanya yang lain, anak jadi belajar disiplin dan mengatur waktu sendiri. Kami merasakan, hubungan orang tua dan anak lebih dekat, dan anak (Davin Ammario Zhafrannafi umur 14 tahun, kelas 9, Mts 6 Sleman, Yogyakarta), juga bisa kembangkan kemandirian dan tanggung jawabnya di rumah.

Sedangkan untuk anak kami yang kuliah, Dito Zafran Amarafi (20 tahun), di Fak Pertanian UGM tetap kuliah daring,  kondisi Jogja yang semakin meningkat jumlah yang sakit Covid-19. Sejauh ini tidak ada kendala yang berarti selama anak mengikuti kuliah daring, laptop/handphone dan tambahan kuota mencukupi kebutuhan anak.

Untuk anak yang sudah kuliah, dia lebiih mandiri dan bertanggung jawab dengan tugas-tugas yang diberikan, sehingga kami sebagai orang tua cukup memantau secukupnya. Meskipun lebih aman daring, kadang kasihan juga melihat anak berjam-jam di depan laptop, dan kadang jenuh, lelah dengan tugas-tugasnya. Sehingga kami suka mengingatkan untuk istirahat sebentar melihat halaman luar agar ganti pemandangan.”

Purwanta Budi Sulistya
Freelance fotografer- Makasar, Jakarta Timur

“Awal mulai metode pembelajaran ini sangat sulit, karena kesiapan sekolah dalam memberikan materi yang masih belum sempurna, terlebih selama ini anak biasa belajar tatap muka dengan gurunya sambil lihat buku yang sudah diberikan sekolah, tentunya menarik buat anak-anak, semangat bertemu teman-temannya, guru dan bukunya berwarna dan bergambar. 

Pembelajaran daring makin ke sini makin tidak terlalu berat karena pihak sekolah selalu memberikan bahan dan penjelasan via YouTube, sehingga pihak orang tua yang mendampingi tinggal menambahkan apabila si anak ada yang tidak mengerti, beda di awal Pandemi yang sepertinya pihak sekolah dan orang tua tidak punya patokan. Tentu saja yang paling sulit adalah menjaga mood si anak tetap stabil untuk belajar daring, tentunya di rumah banyak saja alasan si anak (Radithya Ardell Reswara, kelas 2, SD IT Insan Madani, Kebon Pala, Jakarta Timur) untuk menunda belajar.

Perangkat belajar seperti laptop dan ponsel sudah cukup, memang persoalan tambahan kuota menjadi PR tersendiri. Ssekolah anak kami swasta, belum lagi utk kebutuhan sehari-hari di tengah pandemi yang pastinya semua pekerjaan terasa sulit, belum lagi masalah waktu yang tentunya saya tidak bisa on-time mendampingi anak pada waktunya.

Kalau ditanya sukanya, tentu ada, ternyata tidak mudah menjadi seorang guru, kita bisa merasakan beratnya mendidik anak-anak. Hal menarik, ternyata ada pelajaran-pelajaran seperti menghitung jarak yang ternyata kita sudah lupa, serta bagaimana caranya mengajarkan ke anak dengan bahasa yang dimengerti di usianya. Kalau boleh jujur, saya merasa belajar daring ini kurang maksimal bagi si anak, tentunya. Kami berharap belajar tatap muka disegerakan, namun melihat kondisi pandemi belum juga surut memaksa kita tetap belajar di rumah dengan pertimbangan risiko apabila dipaksakan tatap muka.” 

Erma Soraya
Enterpreneur – Bogor

“2 Maret 2020 menjadi tanggal yang sangat bersejarah utk semua rakyat Indonesia, karena tanggal itu pemerintah resmi mengumumkan kasus positif Covid 19 pertama di negara kita. Sejak itu semua kebiasaan baru ini dimulai, semua orang dipaksa untuk tetap di rumah saja, kegiatan luar rumah otomatis dipaksa berhenti termasuk kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Anak-anak saya. mulai beradaptasi dengan kebiasaan baru ini, dan ternyata hal ini tdk menyulitkan buat mereka. Mungkin karena mereka terbiasa melihat saya yang bekerja dengn pola online hingga hal itu membuat mereka dengan mudah dan cepat menyesuaikan.

Namun ada hal-hal yang agak menggelitik hati juga saat mereka bercerita tentang apa yang mereka alami saat proses belajar daring ini. 

Akhirnya dibukalah forum meeting orang tua dan pihak sekolah untuk  bersama mencari solusi agar kegiatan PJJ ini berjalan kondusif. Beberapa terobosan baru dari pihak sekolah mulai diimplementasikan antara lain Home Visit Activity, guru-guru melakukan kunjungan belajar ke rumah semua murid dengan cara bergilir sesuai jadwal yang dibuat. Untuk membuat anak menjadi lebih kreatif dan memaksimalkan waktu anak selama di rumah, dibuat project student skill di antaranya berkebun, memasak, art exhibition dan lainnya.

Juga, parenting counseling. Ini adalah bagian paling krusial buat para orang tua, untuk bisa memahami kesulitan anak mereka selama kegiatan PJJ ini, bagaimana bisa mengelola stres pada anak, membangkitkan motivasi dan semangat anak untuk belajar  sehingga bersama bisa melewati kesulitan ini dengan baik.

Oh ya, ada satu cerita lucu. Suatu hari anak saya (Zalika Shafa Azizah, Kelas 8 Ibnu Sina, SMP Salman Alfarisi, Cibinong) kesiangan bangun, karena diburu waktu yang tinggal 5 menit harus sudah join di kelasnya jadilah anak saya join di kelas dan on cam tanpa mandi, dan di antara waktu itu saya harus bolak balik suapi sarapannya biar tidak kelaparan.”

Lisa Malik

ASN – Manokwari Barat, Papua

“Meningkatnya kasus Covid-19 saat ini, saya sebagai orang tua masih merasa perlu diteruskan sistem pengajaran via online demi menjaga kesehatan anak dari terpaparnya virus tersebut, walaupun sebenarnya menurut saya kurang efektif karena orang tua tidak bisa berperan secara maksimal sebagai guru, apalagi kurikulum pelajaran anak-anak zaman sekarang lebih sulit. 

Belajar online anak, sukanya anak lebih terjaga, terpantau dan berharap dapat meminimalisir dari terpaparnya virus Covid-19. Dan dukanya, saya sebagai orang tua jadi sulit membagi waktu antara bekerja dan mendampingi anak saat belajar online Karena ada batas waktu pengumpulan tugas yang telah ditetapkan pihak sekolah.

Anak sulit berkonsentrasi jika di ajar orang tuanya karena anak cenderung lebih segan kepada gurunya, yang ada kadang orang tua jadi naik pitam karena tingkah anak yang membuat kesal orang tua dengan menjawab soal secara “ngawur”. Jika sedang Zoom anak sering merasa bosan dan mengantuk karena tidak bisa secara langsung bertatap muka dengan guru atau dengan teman – temannya.

Saya sebagai orang tua kadang sulit membantu anak saya, Nabillah Allisya P yang kelas 6, SD Negeri 05 Yos Sudarso, Sanggen,  dalam mengajar matematika karena kurikulum pendidikan anak sekarang berbeda dengan dulu, terlebih gurunya sama sekali tidak berperan aktif dalam pengajaran hanya sibuk memberikan soal- soal tugas setiap hari, tanpa ada pertemuan via Zoom. Berbeda dengan anak saya yang kelas 1,  Jihan Asyifa Quinn di SD IT Insan Mulia, Swapen, di sekolah swasta masih ada peran aktifnya sebagai guru yang seminggu empat kali melalukan pengajaran via Zoom. 

Suatu hari, Jihan belajar online via Zoom dengan gurunya, saat itu jaringan kurang baik, saat guru mengajar tidak jelas karena suara putus-putus dan bahkan gurunya tiba-tiba menghilang alias layar mati, nah saat jaringan sudah stabil Kembali,  ternyata banyak anak yang sudah ketiduran termasuk anak saya sudah merem tapi supaya tidak ketahuan, saya pakaikan dia kacamata hitam ha-ha-ha”

Titis Widyawati
Ibu Rumah Tangga  – Surabaya

“Belajar online anak di rumah masih belum terasa ribetnya, sejauh ini masih baik-baik saja karena anak saya Ahmad Zafran Mahfudz masih TK B di TK Hapsari Surabaya. Tahun ini baru mau masuk SD,  jadi pelajaran anak TK masih seputar mewarnai, menggambar pengenalan huruf, angka dan belajar membaca. Jadi belum terhitung berat buat saya yang mendampingi

Sedangkan dua kakaknya SMP (Abdullah zufar Mahfudz, kelas 2 SMP, Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang dan Ervina Putri Damayanti, kelas 7, Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya)  sekarang sedang di pondok pesantren, jadi kegiatan belajar mengajar kalau di pesantren masih tetap berlangsung tatap muka, hanya kita orang tua tidak bisa bertemu face to face selama masih kondisi seperti ini, jadi hanya bisa komunikasi via video call seminggu dua kali dengan fasilitas ponsel pondok pesantren, karena anak-anak tidak diijinkan bawa ponsel dari rumah.

Untuk penunjang belajar online, menggunakan ponsel dan dapat fasilitas kuota dari pemerintah di sini, cuma selama setahun ini masih dua kali dapatnya itupun bulan-bulan menjelang akhir tahun kemarin. Bulan ini belum dapat lagi. 

Emmy Maro
Wiraswasta – Mali, Alor, NTT

“Kami di Alor NTT, Januari 2021 dinyatakan zona merah kerena ada pasien positif yang meninggal jadinya dari tahun kemarin putri kami, Celyn, ada beberapa minggu yang wajib belajar dari rumah tanpa online karena mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru di TK Cermin Multicultural School-TK B-6. Jadi tidak terlalu butuh kuota Internet

Sukanya, seru karena kita jadi tahu anak kita perkembangannya sampai mana, kita bisa improvisasi buat mengajar anak, tapi dukanya kadang terlambat dengan pekerjaan rumah dan usaha. Celyn suka sekali kalau belajarnya divideokan membuat dia jauh lebih semangat, jadi setiap belajar saya videokan, waktu ada pelajaran materi yang harus presentasi depan kelas, Celyn harus menghapal dan kami buat video, saya dan bapaknya jadi penonton yang paling heboh dan itu sangat menarik dan sangat membahagiakan.”

Linda
Ibu Rumah Tangga – Ciledug


“Saya menginginkan upaya belajar tatap muka disegerakan tapi harus mengikuti protokol Kesehatan. Anak belajar online, sukanya mengurangi jajan yang tidak sehat untuk Carissa, kelas 6 di SDN Larangan Utara 01, dan susahnya harus menyesuaikan mood anak. Belajar lagi supaya bisa membantu anak mengerjakan tugas, harus sabar menghadapi anak yang sudah dijelaskan tetap tidak mengerti.

Ada cerita lucu juga, saat pelajaran matematika dan saya tidak paham dengan soal-soal yang diberikan, akhirnya tanya sama google, tapi jawaban dari google ternyata salah.”

TIM REDAKSI NYALANYALI

Bagikan :

Advertisement