Hari Jazz Internasional: Free Jazz, Third Stream, dan World Music

NYALANYALI.COM, Musik – Kemarin, 30 April, dirayakan sebagai Hari Jazz Internasional.

Para musisi paham benar, music jazz adalah kebebasan. Sejak semula, sumber jazz yang beragam itu membentuk satu mosaik atau sejenis melting pot sebagai hasil akhirnya. Sebuah karya seni sekaligus hasil kerajinan. Art tapi juga craft –dalam pengertian paling halus dan sempurna.  

Pada masa awal (sebelum 1800-1920-an) sampai era perkembangan pra modern (1923-1955) dimulai penggunaan skala secara bebas, unsur sinkopasi dan improvisasi dalam genre yang lainpun ada, walau tak sebebas jazz. Lalu, perubahan-perubahan terjadi di fungsi instrumen dalam satu orkestrasi yang tadinya umum atau baku. Free Jazz (1965-kini) menjadi puncaknya, saat sistem baku disintesakan bahkan “diacak-acak”. Ketika era modern-jazz sebelumnya (1955-1965) hanya saling-silang tempo, eksplorasi berbagai time signature, sampai inovasi para musisi klasik kontemporer seperti Atonality; musik elektronik yang ditransfer ke jazz. Maka, dalam Free Jazz, segalanya dibebaskan.

Gunther Schuller  –seorang pakar musik, komposer dan kritikus– mengenalkan istilah Third  Stream, untuk mewadahi kecenderungan pembebasan jazz. Biarpun lebih banyak popular disekolah tinggi musik dan konservatori, istilah ini sering digunakan oleh para penulis dan jurnalis musik (jazz) yang setuju dengan pendapat Schuller. Ini cukup untuk mengakomodir hasrat inovasi para musisi jazz terkini. 

Kecenderungan overlapping, baik dalam soal irama maupun kaidah-kaidah lain akhirnya mendekatkan jazz kepada kecenderungan terbaru. Bahkan pop dan rock sekalipun memberikan kontribusinya.Ketika para tokoh musisi mendeklarasikan musik hanyalah satu, sebuah universalitas baru telah terbentuk. Inilah “World Music”. Sebuah pengkayaan dalam sejarah kreativitas seni. Hari Jazz Internasional sebuah perayaan suka cita penikmat jazz music kebebasan.

PUNTO DEWO

Bagikan :

Advertisement