Jenderal Polisi itu diminta menghadap Presiden terpilih. Hari ini juga, saat ini juga, ke Istana Merdeka.
Tak ada kata tidak, maka ia meluncur ke istana secepat ia bisa. Jangan sampai ada halangan sedikit juga. Jika bisa, ia memejamkan mata kemudian telah tiba di anak tangga pertama istana. Tapi perlu waktu juga sampai sana. Meski tak seberapa jauh, 10 menit kira-kira, tapi terasa sangat lama.
Menteri Sekretaris Negara dan protokol istana mengantarnya sampai depan pintu ruang kerja Presiden.
“Silakan masuk Jenderal, Bapak Presiden ingin bicara berdua saja,” kata Mensesneg itu.
Sang Jenderal masuk ruangan. Ia melihat Presiden yang baru dilantik tiga bulan itu, tengah duduk menghadap pintu, tepat di depannya, seolah memang ingin melihatnya masuk sejak Langkah pertama. Masih muda, mungkin lima tahun di bawah usianya.
“Silakan duduk, Jenderal,” kata Presiden.
Berita di luaran sudah santer terdengar, Presiden terpilih ini ingin mengangkat dirinya sebagai Kapolri. Berbagai spekulasi telah menguar ke mana-mana. Tanda tanya banyak orang, mengapa Presiden selalu menyebut namanya. Calon kuat yang akan memimpin di institusi penegak hukum di negeri ini.
Ia pikir, pasti pembicaraan tak jauh dari itu.
Presiden itu tak beranjak dari tempat duduknya, tersenyum. Jenderal itu sedikit membungkukkan badan, pertanda hormat. Kemudian duduk.
Ia siap dengan segala kemungkinkan pertanyaan. Teknis dan akademis. Pemahamannya tentang keIndonesiaan akan ia beberkan.
Presiden mengeluarkan sesuatu dari balik laci mejanya. Ia menyodorkan kepada Jenderal Polisi yang mengkilap kariernya itu. Sebuah foto lama.
“Jenderal kenal anak ini?” Kata Presiden menyodorkan selembar foto, sudah agak usang.
Sang Jenderal melihat foto seorang anak muda dalam foto itu. Rambutnya ikal, gondrong, badannya tegap, wajah muda, tengah mengacungkan kepalan tangannya tinggi-tinggi, berbalut jaket almamater perguruan tinggi.
“Jenderal kenal?” Kata Presiden, lagi.
Pertanyaan yang diluar prakiraannya. Bukan pertanyaan teknis dan akademis yang telah ia siapkan. Ia terus bertanya-tanya, akan ke mana ujung pertanyaan Presiden. Siapa anak muda itu.
“Maaf, saya tidak kenal, Bapak Presiden,” katanya.
Presiden berdiri, ia berjalan ke arah jendela istana, menghadap ke halaman. Ia membuka tirai. Diam sejenak. Membiarkan suara burung kenari di luar istana terdengar meraja.
“Itu saya, 24 tahun lalu. Jenderal tidak ingat?” tanya Presiden.
Jenderal itu mencoba mengingat. Keras sekali ia mencoba mengingat, tapi ia sungguh tak ingat. Di mana ia bertemu atau melihat anak muda ini 24 tahun lalu.
“Saya masih mahasiswa, demo kami menolak Omnibus Law, saya ingat betul, Kamis, 8 Oktober 2020, pukul 14.07. Aksi kami tak jauh dari sini, kami ditembaki water canon dan gas air mata berkali-kali. Apa yang kami bisa, selain kocar kacir. Kami bermodal suara, sama sekali tak bersenjata. Kami hanya ingin didengar, datang bukan untuk bertengkar. Saya tertangkap, saya ingat benar nama, suara dan wajah orang yang menangkap saya sampai hari ini. Jenderal, saya anak muda yang Jenderal tendang, pukul bertubi-tubi, dan cekik leher serta diseret-seret itu itu,” Presiden menghentikan kata-katanya. Ia menatap tajam kepada lelaki yang duduk tak berkutik di depannya. Beberapa bulir keringat membuat lembab rambutnya, sebelum mengembang membasah di sisi dahinya.
“Jenderal masih tidak ingat?” tanyanya, lagi. Suaranya tak keras tapi bagai palu godam menghantam.
Ruangan itu kemudian sunyi. Tidak ada suara apa-apa. Dua lelaki duduk berhadapan. Presiden terpilih dan Jenderal Polisi itu.
“Tapi saya tak dendam, saya tetap ingin mengajukan Jenderal sebagai Kapolri. Tugas pertama yang saya perintahkan kepada Jenderal sebagai Kapolri, jangan ada lagi aksi represif dan kekerasan dalam penanganan unjuk rasa. Tidak ada lagi kekerasan dilakukan aparat negara kepada rakyatnya, sekeras apapun suara mereka. Saya percaya, Jenderal bisa menjalankannya,” kata Presiden itu.
“Siap!” Jenderal Polisi itu berkata. Hanya itu yang bisa ia katakan.
Dua lelaki itu duduk berhadapan, 24 tahun lalu pernah bertemu tak seperti sekarang kedudukannya.
Burung kenari berkicau dari balik dinding istana. Terdengar nyaring siang itu.
10 Oktober 2020
S. Dian Andryanto