NYALANYALI.COM – Pelaku masa lalu itu masih hidup hingga kini, temitis di dalam wadhag bocah kekinian berciri rambut yang menggimbal. Diadakannya ruwatcukur gimbal sebagai tradisi untuk mengingat, bahwa mereka ada sejak ratusan tahun lalu di Tanah Dewa, sebuah tanah karesian, tempat ritual untuk mendekat kepada Sang Pemilik Semesta.
‘Di Hyang’ atau Dieng, pesona taman dengan seribu percandian, begitulah kutipan kitab kuno mengisahkan. Dieng menjadi punjěrTanah Hyang, titik tengah dari tatanan batuan kuno yang berjejar melingkar puluhan kilometer panjangnya, hingga menembus batas-batas kota.
Bocah-bocah ber-gen pilihan, didudukkan di bawah song-song kebesaran, di pelataran bangunan suci, Candi Pandawa orang menyebutnya. Bocah-bocah berambut gimbal itu, menunggu tahunan hingga tiba waktunya, masa tugas rampunglah sudah.
Tampa sajen berderet sesuai jenis gimbal si bocah, satu gimbal satu pula permohonan, terkadang di luar nalar tetapi tetap diupayakan. Potongan rambut gimbal dilarung di sebuah telaga, bekas ‘Kawah Candradimuka’, dikisahkan sebagai medan penggemblengan bagi mereka yang terpilih, hingga arus membawanya menuju luasnya samudera.
Bocah-bocah itu, sang pembawa kabar masa lalu, mengabarkan kepada kita pewaris peradaban yang merasa lebih pinter hingga keminter, menganggap lebih modern padahal sedang keblinger. Cobalah tanya bagaimana para leluhur, pembangun peradaban luhur, justru mentertawakan kita yang berjalan semakin mundur, karena terlalu sering mengobral kata tanpa karya nyata.
Lewat bocah-bocah gimbal itu, dititipkanlah kabar masa lalu dalam tutur dialektika, dalam bentuk simbol penuh makna, yang hanya dapat dipahami oleh manusia waskitha dan yang selalu éling lan waspada. Bahwasanya, tutur dan simbol itu adalah ‘kode’ nyata, yang hanya dapat dipahami jika kita kembali menjadi ‘Jawa’.
AGUSTIN ARIANI
Filolog dan Peneliti Independen