NYALANYALI.COM, Kisah – Seharian kemarin aku dan istri berkenalan lebih jauh dengan perempuan ini. Dari pagi, sekitar pukul 09.17 sampai 18.01. Nyaris sepanjang hari.
Bukan kenalan langsung sesungguhnya, lebih tepatnya kami yang ingin mengenalnya meski ia tak kenal kami. Ia dan keluarganya tinggal di HongKong, lewat banyak postingannya di YouTube, kami makin mengenalnya.
Mulanya, setiap istriku akan memasak masakan yang jarang ia masak, ia membuka YouTube, meyakinkan bumbunya tak ada yang meleset. Sekitar satu dua bulan lalu kebiasaan ini dilakukannya. Dan, entah mengapa ia memilih upload-an mbak Rosidah Dobson ini, dibanding tayangan YouTuber masak lainnya.
Kadang ia tertawa menyaksikan celoteh perempuan asal Selopuro, Blitar, Jawa Timur ini saat menjelaskan bumbu atau cara memasak dengan logat dan disisipi bahasa Jawa Timuran.
Aku tadinya melihat sepintas-sepintas saja. Tapi kemarin itu, aku jadi tahu, mengapa tayangan Rosidah ini berbeda dengan lainnya. Setelah menyaksikan puluhan tayangan yang diunggah di channel YouTube-nya.
Dia menyajikan masakan yang biasa saja, Indonesian Food, bahkan beberapa kali ia menegaskan masakan ndeso. Ada tumis lompong, acar kuning, sayur daun singkong dan kacang merah, lodeh, telur gulai dan sebangsanya. Biasa saja. Tapi ada kejujuran yang ditampilkannya. Tak diset amat-amat dapurnya. Bahkan beberapa kali shoot nya ketinggalan saat menaruh garam atau potongan daun bawang. Ia seperti masak biasa di dapurnya semdiri jelang suami dan tiga anaknya pulang sekolah.
Komentarnya kadang buat terpingkal. Tak ada yang upload masakan sesantai dia. Kalau gorengannya agak gosong, dia katakan memang gosong, tak diusahakan re-take gambar lainnya. Bahkan celetukannya menggelikan, “Apinya sudah panas, tak sepanas hatimu” atau “bawang dan brambang ndak bisa dipisahkan seperti orang pacaran”, “masakan cabe biar sepedas mulut tetangga”, atau saat dia kelelahan membawa belanjaan jalan kaki menuju rumahnya diatas bukit melewati puluhan anak tangga yang mendaki, “lebih enak naik daun daripada naik tangga”, dan sesekali muncul kata ” tak tuabok”, “uenaak”, “kueesel”. Khas banget JawaTimuran nya.
Tadinya memang soal masakan semua tayangannya. Channel YouTube nya sudah dibuat sejak 2013, dan mendekati 300K subscriber-nya. Tapi video ke belakang tak melulu soal masakan ndeso yang dibuatnya, dia menceritakan tiga anak kesayangannya, Daniel Soekarno, Cassandra Kartini, dan Carissa Sartika. Sejak tengah malam ia sudah menyiapkan untuk bekal Mr. Dobson, suaminya yang asal Kanada itu, hingga pagi sekali sibuk pula ia membuat menu untuk anak-anaknya. Tiga anak, tiga kesukaan berbeda dan ia buatkan dengan cepat. Kesibukannya tiap hari bebersih rumah kontrakannya itu, menyeprei kasur dengan benar, menjemur seprei dengan praktis, dan hampir seluruh pekerjaan rumah lainnya di rumah di atas bukit, dekat hutan kota, yang masih banyak “munyuk” nya.
Kami terus menonton unggahannya. Serasa makin kenal.
Perempuan ini, di satu bagian menceritakan sejak umur 15 tahun sudah keluar kampungnya, bekal 20 ribu tahun 1995 ia kerja di Jakarta kemudian menjadi TKI di Singapura, Belanda, sampai HongKong. Kisahnya sebagai TKI makin miris, menghadapi majikan perempuan yang cemburu karena anak yang diasuhnya lebih dekat kepadanya, nyaris menjadi TKI ilegal, dimaki-maki sejadi-jadinya oleh majikan, diakali agennya. Tapi katanya, “Saya hanya tamatan MTS, rendahan, saya kerja jauh-jauh untuk bantu orangtua di kampung. Jadi saya harus kuat.” Secara rutin ia mengirimkan uang untuk emaknya di kampung, apapun keadaannya.
Tak banyak diceritakan bagaimana ia kemudian bertemu Mr. Dobson yang menikahinya dan bersamanya ia memiliki tiga buah cintanya. Dan, cobaan itu datang, anak keduanya, Cassandra Kartini saat balita terkena kanker. Perawatan dilakukannya, entah sudah berapa banyak air matanya tumpah. Hingga anak itu dinyatakan sehat kembali.
Jika kemudian ia membuat tayangan masak, buatnya bukan buat pamer, tapi jadi dokumentasinya. Jika kemudian banyak yang mengikutinya, ia tak pernah menyangka. Jika ia kemudian menjadi kaget-kaget terhadap berbagai komentar ia tak duga.
“Tampang saya dibilang tampang pembantu, tampang bos itu seperti apa.” Ia mencoba berbesar hati ketika ada yang menyebutnya suaminya tua banget. “Waktu kawin ya muda, sekarang mestinya ya wis tuek, masak aku 40 tahun suaminya muda terus, anak wis telu,” Karena dunianya hanya rumah, pasar dan antar sekolah anak, tak senang nongkrong-nongkrong dengan lainnya, dia disebut kawin dengan bule kere. “Dianggap kawin dengan bule kere, ya tak trima aja.” Sambil menyetrika ia terus berkisah, betapa sulit menghadapi puluhan komentar miring saat ini.
Kami terus menonton. Makin tahu benar isi rumahnya, ia lebih sering menyebut “gubuk”, ada bendera merah putih di kamar tidur anak-anak perempuannya. Jalan 3-5 menit sudah sampai mal yang ada Ikea-nya tempat anak-anak suka membeli es krim dan popcorn. Tak jauh dari rumahnya ada kuil Buddha dan puluhan patung banyaknya. Bagaimana ia bersiasat kalau kepergok monyet di jalan dekat rumahnya. “Jangan lihat matanya, gak usah peduli, cuek aja, emang enak.”
Di tayangannya April lalu, mereka sekeluarga pulang kampung ke Selopuro, Blitar. Ia menghambur memeluk ibunya. Mendekap lama sekali. Air matanya tumpah. Tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya, tak ada keluh kesah tentang hidupnya, seberat apapun itu. Ia begitu kuat.
Kami seperti hidup di keluarga Rosidah Dobson seharian kemarin.
Aku dan istri sepakat, “Dia perempuan hebat, yang memulai semuanya dari dapur cintanya”.
24 Juni 2018
S. DIAN ANDRYANTO
Penulis #sayabelajarhidup