NYALANYALI.COM, Kisah – Saat itu hari Minggu, tanggal 2 Juni 2019. Seperti biasa, aku keluar dari rumah untuk bekerja.
Yang aku ingat ketika itu, hatiku sedang galau. Rumahtanggaku sedang rumit. Kisah cintaku pelik. Masalah datang silih berganti, ditambah lagi keadaan yang harus memisahkan aku dan suami. Aku di Medan. Sedang suami merantau ke Manado. Mengikuti kontrak kerja proyeknya.
Sehari sebelum hari itu, Indonesia sedang berduka. Almarhumah ibu Ani Yudhoyono berpulang pada Sang Khalik. Aku sebagai perempuan biasa, ikutan baper melihat betapa bersedihnya bapak Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Mata beliau sembab. Roman mukanya yang biasanya gagah berwibawa, kala itu melayu dan redup. Entah kemana perginya kegagahan beliau.
Jenderal itu benar-benar berduka! Belahan jiwanya telah pergi.
Ada sebentuk cinta yang luar biasa terpancar dari kesedihan mantan orang nomer satu di Indonesia itu. Ada sebentuk kehilangan yang tak sanggup ditahannya sendiri. Tapi dia harus siap menerima guratan takdir dari Sang Pencipta. Siapa yang mampu menghindar dari maut bila masanya telah tiba? Begitu kan memang garisannya?
Hatiku yang sedang resah langsung memperbandingkan keadaan itu dengan situasi pribadiku.
Hatiku meronta iri melihat kesedihan dan kehilangan bapak SBY saat itu. Ya… Aku iri.
Apakah suamiku akan sesedih itu bila aku yang berpulang? Apakah suamiku akan sekehilangan itu bila saatku telah tiba? Apakah aku akan didampingi sampai saat terakhirku bila aku yang di posisi almarhumah?
Aku rajin mengikuti berita saat almarhumah Ibu Ani sakit dan bapak SBY menjaganya.
Juga saat beliau berdua masih muda dan sehat. Kenapa moment romantis yang dialami Bapak dan Ibu Yudhoyono itu tak bisa kumiliki? Lalu iblis jahat pun menyelinap ke hatiku…
“Tentu mereka bisa, Vie. Mereka berkecukupan. Mereka tak harus banting tulang dan terpisah jarak seperti kalian. Lebih mudah bagi mereka untuk menikmati cinta itu. Karena masalah mereka tidak sekomplit masalahmu.” Ah ya… Tentu saja. Pikirku kala itu.
Cinta sejati adalah hal paling langka di dunia, kalau aku tak boleh menyebutnya mustahil ada.
Kalau pun ada yang berhasil memilikinya, mungkin adalah mereka-mereka yang tak harus bergumul dengan debu dan keringat untuk memperjuangkan perut yang sejengkal ini.
Sedangkan aku? Kesulitan dan semua masalah ini sangat rentan memicu permasalahan.
Saat itu sontak saja hatiku auto sinis pada sebuah kata yang bernama “cinta”.
Di tengah kegalauaku itu, perhatianku tertarik pada sebuah kendaraan yang berada tepat di depanku, menghalangi laju motorku. Itu bukan sepeda motor. Bukan pula becak. Bentuknya mirip sepeda motor gandeng jaman dulu. Tapi yang ini gandengannya bukan di samping. Melainkan di belakang.
Kuiikuti laju kendaraan itu. Kujajari. Berharap bisa melihat lebih baik lagi kendaraan apa itu.
Ternyata kendaraan modifikasi. Dari sebuah sepeda motor biasa, ditambahi begitu banyak alat tambahan. Pengendaranya yang seorang pria duduk seperti biasa. Tapi pengaturan persneling motornya yang tak biasa. Bukan lagi pada kaki, melainkan pada tuas yang disusun di samping kiri pengendara. Dan dikendalikan dengan tangan.
Begitu banyak dan rumit modifikasi kendaraan itu. Karena di samping merombak mesin, body kendaraan juga dimodifikasi menjadi seperti becak. Ada dinding samping, depan dan belakang.
Di bagian belakang kendaraan itu ada boncengan unik. Kenapa kubilang unik? Karena boncengan itu bukan tempat duduk biasa. Melainkan sebuah kursi roda. Yang diduduki seorang perempuan paruh baya yang menurutku wajahnya sangat manis. Di belakang boncengan itu ada pintu besi yang bisa dibuka tutup lengkap dengan gerendel layaknya pagar.
Aku makin kepo. Keingintahuanku menjadi maksimal. Kuambil hape dan kumintakan ijin pada mereka berdua untuk mengambil video dan foto. Alhamdullillah mereka mengijinkan.
Aku berhasil memvideokan mereka berdua dan menjadikannya story’ di WhatsApp ku.
Tapi entah kenapa hatiku tak puas. Siapa yg disibilitas di antara mereka ? Sang suami kah? Atau sang istri?
Jalan yang macet membuat mereka jauh tertinggal di belakangku. Tentu saja. Motorku gampang menyalip di antara kemacetan. Sementara mereka tidak. Kutunggu mereka di jalan yang sedikit lenggang di depan.
Kulambaikan tanganku ketika mereka muncul di depanku. Kuminta mereka berhenti dan kusalami mereka. Entahlah. Entah dari mana kudapat keberanian itu. Aku bukan wartawan. Bukan pula orang media yang bisa menayangkan tulisan tentang mereka. Yang aku tahu saat itu, keharmonisan mereka harus aku bagi. Entah untuk orang banyak. Entah untuk diriku sendiri.
Kusalami mereka. Kuperkenalkan diri sambil meminta maaf telah menggangu perjalanan mereka. Kutanyakan nama mereka berdua. Kau tahu, aku makin meleleh mendengar penjelasan mereka.
Sang suami bernama Lintang Siahaan. Pak Lintang ini dulunya bekerja di sebuah perkebunan pemerintah di daerah Riau. Sampai sebuah kecelakaan membuatnya kehilangan fungsi kakinya. Dan memaksanya berhenti dari pekerjaan itu. Dan benar saja, perempuan manis di boncengan Pak Lintang adalah istrinya.
“Lalu, kursi roda itu kursi Bapak?” Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulutku.
“Iya. Dan lantai tempat kursi roda itu bisa dinaikkan dan diturunkan dengan tuas ini,” jawab Pak Lintang.
Oh, begitu toh cara kerjanya. Lantai kendaraan itu bisa diturunkan untuk memudahkan kursi roda itu keluar mundur ke belakang. Dan dinaikkan kembali apabila mereka akan berkendara.
Cerdas kali.
Beliau menjelaskan banyak tentang modifikasi kendaraannya saat itu. Tapi semua menguap begitu saja dari benakku. Tak ada data yang tertinggal di otakku. Aku fokus pada kesetiaan sang istri yang belakangan kuketahui bernama Lorentina Saragi.
“Bapak dan ibu dari mana?” tanyaku tak tahu lagi harus bertanya apa. Aku bukan wartawan kan? Aku tak tau pertanyaan baku macam apa yang tepat dalam keadaan seperti itu. Semua meluncur begitu saja dan aku yakin aku pasti terlihat bodoh saat itu.
“Kami dari Pakam. Tadi kami ke Tanjung Anom untuk menghadiri arisan kerabat kami.”
Aku makin melongo. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki pak Lintang, beliau masih semangat hadir di arisan kerabatnya. Menempuh perjalanan yang tidaklah dekat. Dan sang istri yang manis bersedia duduk berpanas-panas di boncengan demi mendampingi suami tercinta.
( Jarak dari Lubuk Pakam ke Tanjung Anom sekitar 42 kilometer kata Google. Aku sudah cek. Tak usah dicek lagi deh. Percaya saja sama aku. Dan untuk perjalanan pulang perginya bolehlah dihitung sendiri).
Aku tercenung. Tak tahu harus berbuat apa setelah lancang menghentikan perjalanan mereka.
Hatiku meleleh. Kutatap lekat perempuan bernama Lorentina itu. Wahai, perempuan manis, hati seperti apa yang dihadiahkan Tuhanmu padamu, hingga kau mempunyai kekuatan yang begitu luar biasa untuk mendampingi suamimu ini?
Betapa indah cara Allah mengingatkan aku. Barusan sebentar tadi aku berpikir bahwa cinta sejati adalah milik mereka yang tak harus bergelut dengan kesusahan hidup. Lalu Allah dengan caraNya mempertemukan aku dengan kedua orang ini.Yang tetap memiliki cinta yang indah. Yang siap menerima kekurangan pasangan apa adanya. Yang tak punya waktu merutuki kekurangan dalam hidup. Karena mereka terlalu sibuk mensyukuri keindahan yang mungkin saja bukan tercipta begitu saja. Tapi keindahan yang mereka ciptakan sendiri.
Sekelumit kisah meluncur dari mulut Pak Lintang. Bahwa praktis sejak dia mengalami kecelakaan itu, beliau berhenti bekerja di perkebunan pemerintah tempatnya bekerja dulu.
Bahwa kendaraan ini beliau rancang sendiri. Beliau rakit sedikit demi sedikit.
Tak sanggup aku bertanya lebih detil lagi. Tak perlu ku tau rinci kisah mereka. Melihat sang istri tetap tersenyum manis duduk di kursi roda di belakang suaminya yang disibilitas itu, dengan hanya bermodal topi lebar yang diharapkannya bisa menghalangi wajahnya dari terik matahari, sudah membuatku merasa cukup.
Cukup paham dan mengerti tentang isyarat yang diberikan Allah. Bahwa cinta sejati bukan berpatokan pada materi. Bukan berpatokan pada sulitnya bertahan menghadapi kesusahan hidup dan masalah yang menerpa silih berganti.
Dan saat akan memulai menuliskan kisah mereka ini, iseng aku mencari mereka di pencarian Facebook. Di sana kudapati akun mereka berdua. Dan aku makin termangu, memandang foto pernikahan mereka di galery Ibu Lorentina. Ternyata Ibu Lorentina menikah dengan Bapak Lintang dalam keadaan Pak Lintang sudah di atas kursi roda. Di momen di mana sebenarnya Lorentina bisa memilih untuk mundur, Lorentina tetap memilih maju dan mengikatkan diri seumur hidup dalam ikatan pernikahan dengan lelaki pujaan hatinya tersebut.
Hatiku makin yakin mendapati foto itu. Mendapati kenyataan itu. Bahwa cinta sejati akan menjadi milikmu saat kau telah mampu menerima bukan saja lebihnya. Tapi juga kurangnya. Bukan saja menerima sehatnya. Tapi juga sakitnya. Bukan saja menerima bahagianya. Tapi juga sedihnya. Karena bukankah Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa badai tak akan pernah datang. Tuhan hanya menjanjikan bahwa akan datang pagi setelah gelapnya malam.
Indah….
Terlalu indah cara Allah membuka mataku. Melalui Pak Lintang Siahaan, dan terutama Bu Lorentina Saragi, Tuhan sedang memberi sinyal kuat padaku. Bahwa bukan kesempurnaan yang menciptakan cinta sejati. Justru cinta sejatilah yang akan membuat hidupmu sempurna.
Dan saat kisah ini kutulis, hatiku masih berselimut kehangatan cinta almarhum Pak Habibie yang belom lama berpulang dengan istrinya, almarhumah Ibu Ainun. Betapa gagahnya Pak Habibie menanti ajalnya datang. “Sekarang saya tidak takut lagi pada kematian. Karena di sana ada Ainun yang telah menunggu saya.”
Demikian kurang lebih pemilik cinta sejati itu berujar tentang maut yang memisahkan beliau dan belahan jiwanya. Adakah cinta yang lebih romantis dari cinta yang mereka punya ?
Dari mereka semua aku belajar, bahwa bila ingin menjadi manusia yang terpilih mendapatkan cinta sejati, yang harus kulakukan bukanlah menuntut suamiku untuk memiliki cinta sebesar cinta Pak SBY. Bukan pula meminta suamiku untuk seromantis Pak Habibie. Yang harus kulakukan adalah belajar menjadi seorang Ani Yudhoyono. Belajar menjadi seorang Ainun.
Dan mungkin belajar menjadi seorang Lorentina.
Medan, Sumatera Utara
Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nusantara Berkisah 02: Orang-orang Sakti (2019)