NYALANYALI.COM – Jembatan gantung terpanjang di Asia Tenggara yang dibuka pada 2019 ini cukup bikin deg-degan. Panjangnya 243 meter, lebarnya 1,2 meter, serta berada di ketinggian 107 meter dari permukaan tanah. Satu-satunya alat penyelamat di pinggang.
Jembatan gantung merah setelah setengah jam berjalan kaki ke Curug Sawer lebih pendek. Tetapi lebih terasa goyangannya di tengah. Satu-satunya yang menyebalkan di Situ Gunung adalah jalan berbatu ke sana. Kayak mau jatuh dari ojek motor.
Pengojek salah satu profesi yang menghidupkan warga sekitar Situ Gunung. Silih berganti ojek datang dengan koordinasi ciamik berdasarkan antrean penumpang dan QR code di gelang lengan. Selain itu penjual kuliner serta kerajinan.
Pengamen musik tradisional Sunda juga menarik. Mereka memainkan lagu yang sedang hits seperti “Rungkat” dengan kecapi, suling, gendang, ukulele, dan tarawangsa dengan dinamis tanpa mengemis, di jalan menuju Curug Sawer. Pun di arena rehat.
Saat antre ojek ke dekat jembatan gantung, awak berkenalan dengan Coco. Anjing pudel hitam yang berbulu keriting bagai domba ini dibawa tuannya dari Cengkareng, Jakarta Barat, ke Situ Gunung, Sukabumi. Pintar salam serta toss, tak bisa diam.
Dalam perjalanan hiking, ada saja peristiwa unik. Seperti seorang pemuda yang sholat dekat pipa air pancuran ke arah air terjun. Khusyuk sekali dekati Tuhan di antara batang-batang pohon tinggi yang usinya entah belasan, puluhan, atau ratusan tahun.
Lagi-lagi awak teringat sebuah sajak. Kali ini “Jalan Menuju Rumahmu” yang ditulis Acep Zamzam Noor pada 1986. Sebuah puisi “pulang”, setelah hidup jumpalitan di dunia fana. Tiada lagi yang tersisa, bersujud usai menulis epitaf di nisan kita.
Jalan menuju rumahmu kian memanjang
Udara berkabut dan dingin subuh
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau di mana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar
Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara
Pada batu karang. Jalan menuju rumahku kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk gerimis
Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan
Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku. Semua beterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu. Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat. Kembali aku bergulingan
Bagai cacing dan pucat. Bersujud lama sekali
Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi.
Depok, 10-11 September 2023
RAMDAN MALIK