In Memoriam Pak Djabaruddin Djohan

NYALANYALI.COM – Tepat sepekan silam, awak membesuk Bapak di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Setelah lewati macet naudzhubillah di Tanjung Barat pada Jumat malam, akhirnya bisa melihat senyum Bapak yang lebar sekali. Ibu Titis Jabaruddin berbisik ke telinga Bapak, “Mas Ramdan datang.” Maaf banget, awak baru bisa menemui Bapak justru ketika sakit. Pertemuan tanpa perbincangan yang hangat. Tak seperti kalau awak mampir ke rumah Condet yang selalu terbuka pagarnya, seluas hati penghuninya.

Berjumpa dengan Bapak kayak ketemu mendiang Bapak Mertua dulu. Seorang lelaki tua nan cerdas, berhati nurani, serta prihatin melihat negeri yang ia pertahanan kemerdekaannya dengan bergerilya melawan penjajah Belanda. Orang yang tersingkir dari Pertamina karena tak tahan melihat korupsi bosnya. Seperti almarhum yang dikirim belajar ke Belanda pada 1950-an, Bapak juga studi ke Rusia pada 1960-an. Bahkan Bapak sempat bercerita ke Norwegia, negeri koperasi terbaik di dunia. Keren!

Awak tak habis kagum kepada Bapak yang begitu mencintai koperasi. Sampai tua sebelum sakit, Bapak masih mengetik di komputer rumah, tulisan tentang koperasi. Awak beberapa kali membaca di Kompas, selain buku-buku Bapak dari koperasi hingga belakangan ajaran Islam. Tapi awak belum pernah membaca buku anak-anak yang ditulis Bapak dulu. Bila masih ada, awak hendak baca bila putri Bapak, Esti Lestarini, masih menyimpannya. Bapak itu luar biasa lho, bisa menulis apa saja.

Saat melayat Bapak siang tadi, Mas Suroto Ph yang awak kenal di kantor Romo Sandyawan Sumardi di Bukit Duri, Jakarta Selatan, pada 2016, bercerita sedang menulis buku tentang koperasi juga yang kata pengantarnya ingin ditulis Bapak. Apa daya, Bapak dipanggil Gusti Allah setelah Subuh tadi. Kawan aktivis koperasi ini yang ikut bercakap sempat awak tanya, berapa buku yang telah ditulis Bapak. “Ada kali 30,” jawabnya. Wow, produktif sekali Bapak! Belum artikel Bapak, loh.

Setiap habis bersua Bapak, waktu jalan kaki dari Jalan Jembatan III, Balekambang, ke Stasiun Pasar Minggu, awak kerap dihinggapi rasa haru. Korupsi yang merajalela di negeri ini, berbanding terbalik dengan nasib koperasi. Ironisnya intrusi koruptor sampai ke Dekopin, Dewan Koperasi Indonesia, yang seharusnya menjadi generator koperasi di negeri ini. Terasa sekali kejengkelan Bapak melihat fenomena itu sekarang. Kian sedih karena Bapak pergi saat Indonesia tidak lagi baik.

Sepulang dari menyolatkan dan memakamkan Bapak di pekuburan yang teduh tepi Ciliwung, awak sempat nonton Kompas TV. Seorang jurnalis, sastrawan, pelukis, aktivis, serta budayawan yang lebih muda dua tahun ketimbang Bapak menangisi presiden yang pernah dipujinya terbaik dalam sejarah Indonesia. Lelaki tua itu meminta teman awak untuk mengontak orang-orang untuk tanda tangan Maklumat Keprihatinan, sejam setelah Mahkamah Keluarga memutuskan putra sulung presiden boleh nyawapres. “Dusta! Siapa lagi yang kita percaya?” katanya getir. Where have you been?

Kian lama awak semakin yakin kata-kata Milan Kundera, sastrawan Ceko yang mempesona itu, “The struggle of man against the power is the struggle of memory against forgetting.” Bangsa ini begitu lekas lupa. Perjuangan melawan lupa agaknya menjadi agenda penting sekarang. Sudah cukup 25 tahun cek kosong civil society selama reformasi. Makanya awak senang sekali melihat seorang wartawan Kompas reportase berpulang Bapak hari ini. Awak salami dan ajak ngobrol dia.

Awak tanya wartawan muda itu tadi, “Ini inisiatif Mas, atau tugas redaktur?” “Saya banyak meliput Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari Mas Suroto, saya dapat kabar duka ini. Lalu saya usul ke kantor, ternyata ok,” jawabnya. Awak bahagia pada momen sedih, masih ada jurnalis yang mengingat koperasi dan Bapak. Awak selalu ingat wasiat begawan Soedjatmoko, “Ide itu punya kaki.” Pikiran Bapak tetap diingat anak muda

Mungkin itulah warisan yang paling berharga dari Bapak. Matur nuwun sanget untuk diskusi dengan Bapak selama ini. Awak kehilangan mentor senior yang asyik diajak ngobrol. Lelaki yang sudah kayak ayah sendiri, menghargai awak yang lebih muda 30 tahun. Terima kasih atas tulisan-tulisan Bapak. Sudah raib rasa sakit Bapak. Selamat ulang tahun ke-84, walau masih sepekan lagi. Salam buat Tan Malaka, Bung Hatta, Sutan Sjahrir. Tiga pendiri bangsa otentik yang pernah dimiliki republik ini.

RAMDAN MALIK

Bagikan :

Advertisement