Cerita Tiga: Emak & Alam & Lestari

Kumpulan cerita S. Dian Andryanto


Photo by Oscar Nillson / Unsplash


NYALANYALI.COM, Cerita – Tidak bisa tidak. Sudah sebulan lalu Emak mengingatkan untuk segera pulang. 

Pandemi virus di kota makin menyebar. Tak terbendung lagi. Semula diprediksi hanya di beberapa titik kota saja menjadi zona merah, kenyataannya titik merah itu seperti cacar air yang menyembul di banyak tempat.

Penanganan yang centang perenang dari pemerintah membuat “V” virus itu menginfeksi orang lebih cepat jauh dari prakiraan. Tidak lagi bisa diidentifikasi berdasarkan orang terpapar karena ia pulang dari luar negeri. 

Seorang ibu yang tak pernah ke luar negeri sekalipun itu, mimpi pun tidak pernah menginjakkan kaki di negeri orang. Ia hanya berkutat di kitaran rumahnya, di ujung gang yang ia tempati sejak ia lahir hingga sekarang, dinyatakan positif “V”. Anak-anaknya pun tertular, bahkan bermain di luar rumah pun jarang. Ternyata tukang sayur langganannya lebih dulu terinfeksi. Terpaparlah dia. Tukang sayur itu pun entah terinfeksi dari mana, ke luar negeri pun ia tak pernah berangan.

Makin masifnya orang terinfeksi “V” virus. Itu yang membuat Emak, memintanya pulang. Harus.

“Alam, pulanglah. Emak kepikiran terus, lihat televisi, dengar radio, semua tentang virus itu. Pulanglah, buat Emakmu ini tenang. Kita berkumpul saja di kampung. Sejak Ayahmu meninggal, hanya kau dan adikmu yang Emak punya. Bukankah kau dan adimu juga tak bekerja lagi di kantor? Ini akan puasa, Pulanglah….” 

Hampir tiap hari Emak menelepon. Setiap menelepon itu-itu saja yang dikatakannya. 

Ini tahun kelima Alam merantau, ia sudah bekerja di divisi keuangan sebuah perusahaan periklanan. Kariernya meski tak cepat tapi progres naik terus. Ia sudah kredit rumah, sudah punya mobil biar kata mobil bekas. Hidupnya di kota besar inipun mulai merangkak naik. Kepastian demi kepastian ia jalani.

Dia pun telah menjalin kasih dengan Dini, teman sekantornya. Berangan sudah mengayuh biduk rumah tangga, usai lebaran haji nanti akan lamaran. Akhir tahun, menikah. Semua persiapan sudah dirinci. Semua pihak sudah berikan restu. 

Hingga sebulan lebih lalu, wabah “V” virus datang tak beri isyarat.

Ia dan Dini, hanya bisa berbagi cerita bertelepon saja. Kantor telah meliburkannya. Work from Home, kataya. Meski ia tahu, keuangan kantor makin tipis saja. Jika satu bulan saja tak ada pemasukan, bisa dipastikan dua bulan lagi PHK besar-besaran pun akan menyentuh kantornya.

Ah ya, adiknya, Lestari. Gadis pintar itu pun telah bekerja mengikutinya di kota besar ini. Menjadi perawat di sebuah klinik. Baru dua tahun ini. Menjadi perawat memang sudah jadi cita-citanya sejak kecil. “Kalau Emak sakit, kalau Mas sakit, aku yang rawat,” katanya dulu sekali.

Lestari tinggal di sebuah kos tak jauh dari tempatnya bekerja. Dan, sejak pageblug virus ini, ia belum bertemu adiknya itu. Bertelepon pun sesekali, berkabar, saling sehat, begitu katanya.

Namun, telepon semalam dari Emak tak bisa diabaikan lagi. 

“Alam, pulanglah. Sebelum puasa ini. Cuma itu permintaan Emak. Ajak pulang adikmu….”

Alam tahu benar, jika Emak yang biasa bicara banyak dan panjang jika sudah mengirit kata-katanya, itu berarti hal yang sangat penting buatnya. Tak ada tawar menawar lagi. Pulang atau tak pernah pulang sama sekali.


***

Mobil menggelinding pagi-pagi sekali. Bulan masih samar menyala sisa semalam tadi. Meruyak kota besar yang sudah sepi, seperti mati.

Alam mengemudi di depan, diam. Radio yang biasa dibunyikan pun dibiarkannya tak menyala. Sesekali ujung matanya melihat gedung-gedung megah yang dibekap sunyi. Suara mesin mobil saja yang terdengar berbenturan dengan angin. Hampa.

Tak ada satu pun kendaraan lainnya. 

Jalan ke luar kota mulai tampak. Batas kota yang muram.

Ia pelankan laju kendaraan di pos pemeriksaan. Terlihat tiga orang petugas yang tampak lelah. Masker, sarung tangan masih terpasang. Seorang petugas berdiri, masih terhuyung larena lelah dan kantuk saling bertumpu. Alam menyalakan lampu dalam kabin kendaraan, ia melambaikan tangan. Petugas itu mengangguk, dan kembali ke bangku temat duduknya semula. Tangannya dilambaikan, agar mobil yang dikendarai Alam segera berlalu.

Mobil boleh ke manapun dengan tetap menjaga physical distancing, jaga jarak. Tak ada penutupan wilayah tertutup atau lockdown. 

Petugas itu hanya melihat Alam seorang, di balik kemudi. Tak perlu berlama memeriksa. Sudah seharian ia dan rekan-rekannya itu memeriksa kendaraan yang lewat. Lelah yang tak tertahankan. 

Seratus meter mobil berjalan, Alam melirik spion yang mengarah bangku dalam. Lestari meringkuk. Menggigil. Demam.

Mobil terus melaju dalam sunyi. Makin menjauhi batas kota, makin jauh ke luar kota, makin dekat ke kampung halaman.

Beberapa jam lalu, setelah telepon terakhir Emak. Alam pelan-pelan bangkit dari tudurnya, ia langsung berkemas. Tak diberitahunya Dini, ia akan pulang.

Rumah ia kunci rapat. Seadanya barang yang ia bawa. Mobil diarahkan ke kos tempat Lestari tinggal. Beberapa kali nomor telepon Lestari dihubungi tak menyahut. Rencananya, ia akan pamit pulang sendiri jika Lestari masih bertugas dan tak bisa pulang bersamanya. Tapi yang ia dapati, kos-kosan itu telah sepi, hanya kamar Lestari yang menyala lampunya. “Semoga dia tidak sedang bertugas,” Alam berharap.

Ia ketuk pintunya berkali-kali. Alam mendengar adiknya batuk-batuk beberapa kali. Terdengar suara kaki dari dalam rumah itu mendekat pintu. Lestari kemudian sudah berdiri di depannya, dengan wajah pucat, keringat bercucuran, sulit tampak ia bernapas. Alam segera memeluk adiknya yang terhuyung.

Tak ada kata lain, Alam harus membawa Lestari bersamanya, pulang.

“Sudah sejak kapan kau sakit, Tari? Kenapa ndak kau telepon Mas?” tanya Alam panik, sambil meraih apa saja yang bisa ia raih dari dala lemari aadiknya untuk dimasukkan tas.

“Dua minggu sudah, Mas… Aku sudah diminta klinik tinggal di rumah saja… Aku ndak mau merepotkanmu, Mas…” suara Lestari tersekat-sekat.

Alam berdiri matanya melihat sekitar kamar kos adiknya, sungguh berantakan. Lestari yang selalu rapih itu pasti tak sempat membereskan apapun sejak dua pekan ia diam dalam sakitnya itu. Sesak dadanya pula, sebagai kakak ia harus akui tak menyempatkan berkabar dengan adiknya itu. Seminggu sekali paling biasanya, dan ia tak merasakan getar suara adiknya itu saat berkata, “Aku sehat, Mas….”.

Lestari ia bopong masuk mobil, berikut tas berisi pakaian seadanya. Sepertinya ia pun sudah lupa apakah kamar kos itu sudah dikuncinya atau belum. Mobil keburu dia injak gasnya. Lestari terebah di bangku belakang, sesekali batuk, napasnya berat, dan hawa tubuhnya masih panas.

Jalanan sangat lengang. Alam tahu ia harus melewati beberapa jalan alternatif untuk mebghindari jalanan utama luar kota, menghindari pemeriksaan jika pun ada.

Tak mengapa, ia harus melintir jauh sampai kampung halamannya, tempat Emak pasti sudah menantinya.

Mobil terseok sendiri. Alam pun tak menceritakan kepada adiknya, bahwa ia sebenarnya sesekali merasakan seak napasnya,batuk-batuk sesekali timbul, dan panas tubuhnya pun ia rasakan mulai naik sepekan ini. Hal itu pun tak disampaikan ke Lestari, Dini, apalagi kepada Emak, bertambah cemas semua nantinya. Tapi, Alam merasakan kesehatannya tak mengapa. “Mungkin flu biasa,” kata dia menenangkan dirinya.

Mobil terseok di pinggiran jalanan diapit jurang, pelan merambat. Mobil bekas miliknya ini tentu tak bisa lincah. Sesekali ia hentikan mobilnya, agar ia bisa istirahat, Lestari bisa makan roti bawaannya lebih tenang. Kemudian mobil jalan merambat lagi. Pagi sudah mulai terang.

Begitulah jalan berkelok-kelok ditempuhnya, agak memutar, tapi dipikirnya akan aman. 10 jam biasa ditempuh, bisa dipastikan ini 24 jam sampainya.

“Kamu kuat, Tari?” beberapa kali Alam mengemudi sambil melemparkan tanya itu kepada penumpang terbaring di bangku belakang.

“Ku..at, Mas….” sahut adiknya, terpatah-patah.

“Ingin istirahat dulu?”

“Terus saja.. Mas…. Segera sampai, aku ingin ketemu Ibu… secepatnya”

Dan, mobil itu berjalan terus. Hingga siang terik dan matahari mulai bergeser ke rembang petang. Bensin dirasanya aman, karena telah ia siapkan pula satu jeriken sebelum berangkat tadi.

Surya jingga di ujung bukit, mobil melintas tertatih-tatih di jalanan sepi, penuh sakit. Batang-batang pohon randu berjajar, dahannya saling bertautan. Ladang-ladang tebu berkerumun, daun-daunnya tua bergesek miris saat angin meniupnya pelan saja. Seekor sapi dan anaknya berdiri di pinggir jalan menatap kosong, kebun tak bertuan.

Alam terus fokus pada jalan, lampu mobil hanya samar menembus tak jauh-jauh. Sesekali ban menggilas batuan, berderak suara kendaraan. Berdecit-decit mobil terdengar di antara tanjakan dan turunan.

Gelap sudah. Menyisiri bukit makin gelap. Pekat itu ada sesungguhnya.

Hingga Alam tersadar setelah sejauh perjalanan tak bertanya ke penumpang di bangku belakangnya. Karena begitu konsentrasi kepada jalanan depan saja yang berkelok-kelok seolah tak berujung.

“Tari… Lestari…..”

Tak ada sahutan.

“Tari…” suaranya lebih keras, masih tak ada sahutan.

Sambil satu tangan memegang kemudi, satu tangan lagi meraih kaki adiknya di bangku belakang. Mengguncang-guncangnya,sambil meneriakkan namanya. Tak ada sahutan juga.

Alam mengentikan mobilnya seketika, usai sebuah tanjakan. Pohon mahoni tua, persis di sebelahnya. Ia segera berlari ke sisi mobil, membuka pintu, dan melihat Lestari tersenyum, terpejam, tak ada napasnya lagi.

“Tari…. Bangun.. bangun.. kita sudah dekat… Emak menunggu…. Bangun Tari…”

Lestari tak bangun. Alam panik. Ia menangis dan berteriak bersamaan. Daun mahoni tua jatuh beberapa helai, angin meniupnya pelan. Alam memangku kepala adiknya, ia meraung sejadi-jadinya. Di tengah bukit, gelap gulita.

***
Alam kembali mengemudikan mobilnya. Ke arah yang sama, kampung halamannya. Di bangku belakang Lestari tak lagi berbaring, sudah didudukkannya.

“Lihat depan Tari, kita hampir sampai…. Emak menunggu”

“Tari ingatkah kamu, apa yang akan dikatakan Emak biasanya kalau kita datang…. Ya, Emak akan selalu bilang, anak-anak yang hilang sudah pulang dan tak dibolehkannya kita pergi lagi….”

Alam terus bicara, seolah Lestari mendengarkannya. Alam terus berceloteh tentang apa saja, masa lalu atau pun kenangan lainnya.

Tangisnya sesekali pecah kembali, ketika ia ingat adik perempuannya itu selalu merengek ingin ikut dia bermain layangan, ia gendong di punggung di pematang sawah, tak peduli teman-teman mengejeknya. Tangisnya tak terbendung, ketika ia menggantikan Bapak menyaksikan adiknya dilantik sebagai perawat, cita-cita yang diinginkan dan berhasil dicapainya.

Kabin mobil penuh segala kenangan abang adik itu. Satu masih hidup dan satunya telah tiada.

Mobil yang semula penuh harapan bertemu Emak itu menjadi kendaraan penuh duka.

Mobil terus menggapai gelap dan pekat. Malam di puncaknya. Bulan harusnya ada, tapi tersembunyi di balik awan malam.

Alam masuk ke jalanan yang dekat kampung halaman, hitungan jam saja sudah akan sampai. Merambat mobil, sesekali mobil lain berpapasan satu kemudian lama sekali bertamu satu lagi. Biasanya jalanan ini tak sesepi ini.

Mobil terus melaju. Alam terus mengajak bicara Lestari, segala hal yang bisa diucapkannya.

Hingga satu tikungan lagi. Alam melambatkan laju kendaraannya, ia tahu benar setelah jembatan kecil itu, ia akan belok ke kanan, melalui jalanan berbatu, pohon-pohon pisang dan melinjo di sisi kiri dan kanan, kemudian belok kanan lagi jalanan menyempit hanya satu kendaraan bisa lewat.

Alam makin memelankan laju mobilnya. Di ujung jalan itulah rumah masa lalunya, tenpat Emak menunggunya.

Hari masih gelap. Alam tak ingin membuat keributan. Ia mematikan mesin mobilnya, tepat di depan rumahnya. Jendela kaca pun tak dibukanya. Emak pasti masih istirahat, beberapa jam lagi baru subuh datang.

Alam melihat adiknya di bangku belakang.

“Tari, kita sudah sampai….”

Tak ada sahutan ceria seperti yang ia harapkan.

Alam terbatuk-batuk dengan sangat. Sakit di kerongkongannya menjadi-jadi. Ia menutup batuknya dengan tangan, ada darah menggumpal di sana. Sakit yang telah berhasil ia sembunyikan beberapa lama.

***
Emak mendengar suara azan subuh, dari masjid jauh dari rumah. Suaranya mendayu itu pagi. Ia bangun pelan. Duduk disisi ranjang. Membenarkan rambutnya yang telah putih semua.

Ia meraih ponsel di samping tempat tidurnya. Tak ditemuinya pesan yang ia harapkan. Ia taruh ponsel kembali ke tempatnya. Ujung kakinya mencari-cari sandal, kemudian berjalan pelan ke luar kamar. 

Cahaya fajar remang-remang datang. 

Emak membuka jendela.

Dilihatnya mobil Alam sudah di depan rumahnya. Sambil membenarkan kacamata, ia melihat Alam di belakang kemudi dan lestari duduk dibangku belakang. Tak ada yang bersuara dari sana.

Emak tersenyum, tapi entah mengapa jantungnya berdetak kencang tak seperti biasanya.

Batang-batang bambu bergesekan. Berderit-derit menyanyat hati itu pagi.

Pondok Labu
14 April 2020

S. DIAN ANDRYANTO



BACA:
Cerita satu: “V”

Cerita dua: Rus & Kuin


Bagikan :

Advertisement