Kumpulan cerita S. Dian Andryanto
Virus telah mewabah.
Berjatuhan korban sudah tak terhitung banyaknya. Kait mengait virus berjangkit dari satu orang ke orang lainnya seperti jalinan tali jerami. Begitu kuat. Begitu lekat. Simpul satu menjerat simpul lainnya.
Sungguh, sebenarnya virus itu tak bekerja secara acak. Ia bekerja dengan sangat sistematis. Tak asal menginfeksi, tak asal menular pula. Ada target yang disasarnya.
Namun, virus ini selalu bermain di ruang pilihan ganda. Satu kesatuan virus selalu diberikan dua pilihan, tapi hanya satu korban yang hanya bisa ia infkesi. Tidak bisa keduanya. Satu tertular dan lainnya akan selamat.
Jika ia membelah diri penuh nafsu untuk menginfeksi keduanya, maka yang terjadi adalah tak akan mujarab kemampuannya menginfeksi, bahkan bisa menjadi bumerang. Virus yang setengah-setengah ini justru akan memperkuat imunitas tubuh calon korbannya. Jika sudah begitu, virus itu akan mati dilipat dan dilahap keluarganya sendiri. Seganas apapun dia, tak mampu bertahan dari gulungan sahabat dan karibnya sendiri.
Satu kelompok virus mendapat tugas. “V” namanya.
Tuan Bal dan Tuan Sab adalah calon korbannya. Dua nama sudah diberikan. Cukup nama, dan sebangsa “V” ini akan menuju sasarannya. Tanpa petunjuk arah, yakinlah, akan sampai dia tak salah tujuan.
“V” tak banyak waktu dan pilihan, ia bergerak cepat. Tuan Sab menjadi sasaran deteksi pertamanya.
Tuan Sab adalah kepala sekolah di sebuah sekolah dasar. Betapa takutnya Tuan Sab akhir-akhir ini. Tetangga dan sejawatnya satu per satu tumbang karena pandemi virus ini.
Anak-anak dan istrinya sudah mengungsi ke kampung halaman, sebulan lalu, ketika wabah virus masih dianggap enteng oleh semua orang. Kampung itu kemudian trerkunci, tak dibolehkan yang masuk dan keluar sementara waktu, termasuk Tuan Sab sebesar apapun rindunya pada anak-anak dan istrinya itu.
Ia bersembunyi di kamar rumah kecilnya. Kepala sekolah SD yang rumahnya di bantaran kali, di ujung jalan pinggir kota. Dia tak banyak berkutik dari ruangan berukuran 2 X 3 meter itu. Dia memilih sembunyi di kamar, karena Tuan Sab yakin ruangan lainnya telah penuh bertebar virus.
Di kamar itu juga jadi tempatnya bekerja. Sehingga banyak barang dari tangan ke tangan orang lainnya di sana. Banyak berkas segala macam ada di sana, terutama berkas map merah yang selalu ia rahasiakan dari siapapun juga.
Tuan Sab selalu menjaga map merah itu. Isinya berupa berkas. Pembangunan ruang-ruang kelas baru dan renovasi ruang kelas lama, bertumpuk angka-angka. Termasuk sejumlah angka kompensasi yang diberikan kepadanya. “Tuan tandatangani saja persetujuannya, biar kami yang membereskan. Bukan sulap bukan sihir, rekening Tuan akan gemuk dengan sendirinya. Diam-diam saja,” kata pimpinan proyek itu kepadanya. Dan, tandatangannya itu pun kemudian tertera di sana, di antara rahasia bertumpuk angka-angka yang tak sebenarnya.
Dua hari lagi lagi sekolah yang telah punya bangunan baru dan ruangan lainya telah direnovasi akan diresmikan. Tuan Sab begitu ingin hadir di acara itu, karena itu akan jadi kebanggaannya. Sepanjang sejarah SD ini, baru kali ini sekolah ini dibangun begitu mewahnya, di masa ia menjabat. Mengingatnya saja bangganya sudah menyesak dada, hidungnya kembang kempis tak bisa ia kontrol.
Tuan Sab mengambil ponsel merek terbaru. Ia membuka aplikasi e-bankingnya. Benar kata pimpinan proyek itu, kali ini rekeningnya tak hanya tambun tapi over weight. Angkanya tak pernah ia bayangkan sebagai kepala sekolah di SD swasta favorit sekali pun. Mata Tuan Sab membelalak, bibirnya tersenyum aneh.
“V” belum beraksi. Dia baru berputar-putar, melata, dan berjingkat-jingkat di sekitar Tuan Sab. Dia tak peduli dengan ejekan satuan virus lainnya yang telah membenamkan korban berganti-gantian. Setiap korban jatuh, prestasi buat mereka.
“V” kemudian berlari begitu cepat dari satu permukaan benda ke benda lainnya, tak lagi merayap. Ia mendeteksi target keduanya, Tuan Bal.
Mendekati Tuan Bal tak mudah. Maklum sebagai pejabat tinggi, antisipasi Tuan Bal terhadap wabah virus ini begitu ketat. Perlengkapannya halau virus terhitung memadai. Apa saja penawaran, asal ia dan keluarganya bisa terhindar dari virus mengerikan itu, pasti ia beli. Maklum pejabat, uang tak berseri.
Siapa tak kenal Tuan Bal di negeri ini. Salah satu pejabat ternama. Orang akan menunduk sambil mengangguk-angguk baru disebutkan namanya. Tak ada yang berani mengusiknya.
Melalui tangannya, banyak orang sudah ia angkat derajatnya. Duduk di posisi-posisi terhormat. Seolah ia tinggal mengelus ujung hidungnya, semua kemauannya akan tersaji sendiri. Tinggal ungkit sedikit saja balas budi akan meluncur ke hadapannya. Itu sebabnya ia tak pernah merasa sulit apa-apa.
Tuan Bal dianggap licin. Banyak jerat sudah dialamatkan kepadanya, ia selalu lolos. Entah sudah berapa banyak kali kasus suap dan korupsi menuntutnya sebagai terdakwa. Penyelidikan berhenti tengah jalan atau vonis akhir ia tak terbukti apa-apa. Media mampu ia beli, bukan cemar namanya justru semerbak harum jadi kebalikannya. Tuan Bal selalu baik-baik saja. Tak merasa bersalah kekuasaan yang dititipkan kepadanya digunakan tak semestinya, tak risau sediitpun juga uang rakyat bagai ATM pribadinya.
Musim wabah virus ini, Tuan Bal tak terlihat takut sedikitpun juga. Tes virus untuknya dan keluarganya sudah ia lakukan. Lihat gudang besar rumahnya, sudah penuh berkardus masker segala jenis, obat dan vitamin seabrek menyentuh lantai atap gudangnya, bahan disinfektan bukan main banyaknya. Apalagi cuma hand sanitizer, siapa yang mau menghitungnya jika dihitung satu per satu botolnya bisa selesai keesokan harinya.
Tuan Bal sudah lengkap semua, cahaya ultra anti virus dan bakteri dalam rumahnya berpendar setiap kali secara teratur. Diyakini, tewas mahkluk renik jika terkena.
Dua hari lagi, Tuan Bal meresmikan sekolah dasar dekat rumahnya. SD kampung dulu tempatnya sekolah, sekarang sudah mewah bangunannya. Terbayang sudah ia akan menggunting pita dan memberikan pidato, dari sekolah kumuh itu telah melahirkan orang ternama seperti dirinya. Penasihatnya sudah mengingatkan untuk ia tak hadir di sana, saat wabah tak bisa diajak kompromi seperti jaringan bisnis dan politiknya.
Tapi, Tuan Bal tetap akan hadir. Ia harus hadir. Ia harus menunjukkan dirinya tak takut apapun juga. “Demi Dukung Pendidikan Masyarakat, Tuan Bal Berani Resmikan SD Megah Saat Virus Mewabah”, ia sudah bayangkan judul di media-media nantinya. Namanya akan terkerek naik makin tinggi, modalnya suatu saat nanti. Tuan Bal tersenyum geli sendiri.
***
“V” sudah menentukan siapa targetnya.
Ini hari saat peresmian gedung SD baru. Dia tak peduli berapa banyak yang datang, asal ada Tuan Sab dan Tuan Bal, cukuplah. Karena salah satu di antara mereka yang akan ia infeksi, kemudian tunai tugasnya.
“V” berputar kemudian merayap. Ia melihat Tuan Bal dan Tuan Sab sudah berhadapan. Pita persemian melambai-lambai ditiup angin jelang siang. Di belakang mereka gedung SD yang megah itu, entah berapa harga pembangunannya yang nyata dan yang rahasia. Cuaca terang benderang.
“V” mulai makin mendekat kepada keduanya. Meskipun ia harus infkesi salah satunya, buatnya tak ada masalah. Toh, keduanya sepertinya sama saja, hanya nominal kejahatannya yang selisih beda. Buat apa bingung memilihnya, dengan tutup mata pun “V” merasa bisa.
Wajah Tuan Bal dan Tuan Sab tampak riangnya. Tertawa-tawa tak habis-habisnya. Beberapa kali Tuan Bal menepuk bahu Tuan Sab, tanda senang pada kepala sekolah itu yang menuruti maunya, dengan tak banyak tanya, “Dari proyek ini, berapa yang Tuan Bal dapatkan? Berapa lagi untuk proyekl-proyek lainnya?”.
“V” mulai menyiapkan diri. Tubuhnya bergetar.
Tuan Bal dan Tuan Sab makin dekat dengan pita peresmian itu. “V” sudah yakin akan ke mana ia akan melompat. Targetnya sudah jelas buatnya.
“V” dengan kekuatan penuh merayap dari ujung rumput, melata hingga sisi terluar pita, berjingkat di ujung pegangan gunting. Saat “V” hanya butuh menekan dirinya untuk melenting ke mulut Tuan Bal yang tengah tertawa menganga lebar.
Detik itu juga, berlari anak perempuan ke tengah acara. Bocah itu mengenakan pakaian seragam SD yang sudah kumal. Sepatunya tak hitam lagi. Bau rambut terbakar matahari bocah perempuan itu menyeruak tercium saat ia berlari.
Anak perempuan itu melompat ke pelukan Tuan Bal. Tak ada yang menyangka. “V” sudah menekan tubuhnya melenting.
“Terima kasih Tuan Bal, sekolah kumuh kami sudah bagus lagi,” kata anak perempuan itu yang menjatuhkan dirinya dipelukan Tuan Bal.
Ketika bocah itu mengucapkan “terima kasih”, saat itulah “V” melompat masuk. Ia tak menyangka akan begini. Ia berusaha sekuat daya menghentikan lompatannya. Ia berupaya keras menekan dirinya agar infeksi yang dibawanya tak dengan kekuatan penuh.
“V” memang berhasil menghentikan lajunya. Tak langsung masuk dalam kerongkongan bocah itu. Ia hanya bisa menempel di bibir kering bocah perempuan itu. “V” bersiap melompat kembali ke mulut, lubang hidung atau mata Tuan Bal, sebagai pintu masuknya.
Tapi, bocah perempuan itu menjulurkan lidahnya, membasahi bibirnya yang kering. “V” tertelan, masuk. Ia masih mendengar tawa Tuan Bal dan Tuan Sab yang berderai-derai.
“V” tak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Pondok Labu, Jakarta
27 Maret 2020