CALEG YANG TAK DIINGINKAN

NYALANYALI.COM – Sore itu di persimpangan jalan menuju kantor Kelurahan Pandanwangi, tersusun potongan bambu yang hampir rata ukurannya. Bukan untuk memasang bendera merah putih, seperti kebiasaan menjelang hari kemerdekaan Indonesia, karena momentumnya sudah lewat. Sekira belasan orang meramaikan giat sore itu. Rupanya batang bambu yang tersusun itu digunakan untuk memasang alat perga kampanye, bendera dan spanduk identitas calon anggota legislatif (caleg).

Ternyata, sehari sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan daftar caleg tetap (DCT), artinya siapa saja yang tercantum namanya dalam  DCT, harus sudah mempersiapkan segalannya, mental dan akomodasi, tentu uang termasuk. Arena tarung (bukan bebas) politik sudah dibuka.

Kelurahan Pandanwangi merupakan wilayah potensial dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) paling tinggi dalam satu kabupaten. Tradisi dari dua pemilu lalu, Pandanwangi bisa mengantarkan tiga caleg lokalnya ke kursi DPRD kabupaten. Selain karena DPT yang potensial, kebanyakan warganya sudah melek politik.

“Bersama Kang Jaya, Pandanwangi Maju, Jaya dan Semakin Wangi”. Warga akan mudah menjumpai narasi itu, slogan kampanye Jaya Senjaya, satu dari sepuluh putra Pandanwangi yang lolos menjadi caleg DPRD Kabupaten Jenaka Barat.

Surawarman bersemangat siang itu. Mental, fisik, materi, dan perlengkapan teknis sudah dipersiapkan dengan matang demi sebuah pertemuan yang diagendakan sore hari. Selain akan bertemu Kang Jaya, tempat pertemuan rupanya turut mendorong semangat Sura, panggilan akrabnya. Rumah Makan Pecak Cere akan menjadi lokasi mereka beradu konsep. Pasalnya rumah makan itu merupakan tempat favorit bagi Sura dan Sulu, kekasihnya.

Sulu, yang memiliki nama lengkap Suluwati Kusumaningsih itu sudah berikrar dengan Sura menjadi sepasang kekasih  sejak lima tahun lalu, tepatnya 100 hari sebelum pemilu. Awal mereka bertemu dalam sebuah forum, antara penyelenggara dan peserta pemilu. Saat itu, Sulu memegang jabatan ketua di Panitia Pemungutan Suara (PPS) Pandanwangi. Tentu perannya sebagai ketua badan adhoc penyelenggara pemilu di tingkat kelurahan, membuat dirinya harus rajin berinteraksi dengan pengurus partai di tingkat kelurahan, termasuk dengan Sura.

Seringnya mereka berkomunikasi, tanpa disadari memantik energi harmoni percintaan dari keduanya, akhirnya mereka sepakat memadu kasih tanpa publikasi. Mereka sadar, secara lembaga tidak boleh berkompromi, meskipun dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tidak melarang hubungan asmara mereka. Demi idealisme dan integritas, sepasang kekasih itu berkomitmen dan sepakat untuk menjaga profesionalitas dan proporsionalitas. Langgeng mereka hingga lima tahun berjalan. 

Ada yang anomali dalam hubungan mereka, selain berkomitmen untuk menjaga profesionalitas dan proporsionalitas, mereka juga berkomitmen untuk tidak saling bertanya dan mencari tahu latar belakang keluarga. Sura dan Sulu yakin, dengan mereka tidak mengetahui identitas dan latar belakang keluarga masing-masing, hubungan asmara mereka akan lebih objektif. Mereka takut hubungan asmara mereka akan kandas, seperti kandasnya hubungan Qays dan Layla setelah kabar asmara sejoli itu hinggap di telinga keluarga masing-masing.

“Mba, saya pesan kopi tubruk.”

Sura lebih dulu memesan, karena dia datang lebih awal. Kang Jaya masih dalam perjalanan, setelah dihubungi melalui aplikasi pesan singkat.

Rupanya tak berlama Sura menunggu, tiba Kang Jaya. Turun dia dari mobil mewahnya, sendiri rupanya tanpa didampingi asisten, tak seperti biasanya.

“Bang Sura, apa kabar?”

“Baik, Pak Jaya apa kabar?”

“Seperti yang Bang Sura Lihat, sehat, hanya kantongnya yang kurang sehat… Ha ha ha!”

Gurau Kang Jaya dan Sura di awal pertemuan menghangatkan suasana. Setelah mencari posisi duduk yang nyaman, Kang Jaya memesan minuman kesukaannya, susu jahe merah.

“Apakah Bang Sura bisa membantu,” langsung menuju poin, tembak Kang Jaya.

Tanpa berpikir, atau sekadar menyeruput kopi yang sudah disaji di depannya, Sura dengan sigap menjawab.

“Tentu siap, Pak Jaya.”

Kang Jaya memberikan informasi soal nomor urut dan potensi kekuatan caleg lain dari partai yang mengusungnya. Sura mendengarkan dengan santai, sambil sesekali mengarahkan cangkir kopi ke permukaan bibirnya.

“Apa yang Bang Sura bisa berikan kepada saya,” tanya Kang Jaya, usai memberikan informasi pembuka.

Rupanya tak langsung menjawab Sura. Diambilnya satu berkas dari tas jinjing yang diletakan sebelah kaki kanannya.

Dari tatapan dan ekspresi kerut dahi, Kang Jaya nampak yakin bahwa Sura bukan konsultan politik kaleng-kaleng, sesuai seperti yang diionformasikan dan direkomendasikan oleh badan pemenengan pemilu (Bapilu) partai tempatnya bernaung.

“Ini adalah catatan terkait jumlah DPT di Pandanwangi, dan potensi yang bisa digarap untuk diarahkan memilih Pak Jaya,” seru Sura, sambil memberikan satu bandel proposal konsep metode pemenangan.

“Siap,” singkat ucap Kag Jaya, sambil sedikit mengangguk.

Kang Jaya serius membaca, sedangkan Sura terus mempresentasikan materi konsep metode menuju pemenangan hasil riset dan analisanya.

Dalam proposal itu rupanya sudah dijelaskan secara rinci, sampai pada jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Kang Jaya untuk memenuhi kebutuhan suara menuju kursi DPRD Kabupaten Jenaka Barat.

“Oke, kita jadi main.”

“Harus saya akui, konsep yang anda sajikan berbeda dengan konsep tim pemenangan yang sebelumnya datang kepada saya. Konsep anda lebih efektif dan efisien, lebih tepat sasaran, realistis,” paparnya, seraya memuji konsep Sura.

“Sebelum kita bersepakat, ada satu pertanyaan prinsip yang harus kamu jawab.”

Sura mulai menegang, khawatir pertanyaan prinsip itu adalah jebakan, atau setidaknya akan mengurangi kepercayaan Kang Jaya terhadap konsep yang diajukan.

“Jika kamu harus memili salah satu di antara dua pilihan. Apa yang akan kamu pilih, wanita yang kamu cintai atau kepentingan politikmu?”

Otak kiri Sura seperti tak berfungsi, diam dia sesaat, terbayang kekasihnya Suru. Dia dihadapkan oleh sebuah pilihan sulit, dilema kekasih Sulu itu. Ketakutan Sura berdasar, jika dia memilih wanita yang dia cintai, kemungkinan akan mereduksi kepercayaan Kang Jaya yang sudah terbangun. Kalaupun dia memilih kepentingan politik, tentu akan menciderai integritas perasaannya kepada Sulu.

Sekira seperempat menit berpikir, yakin Sura menjawab atas pilihan yang dihadapkannya. Dia sudah mempertimbangkan konsekuensi logis atas jawabannya. Sudah berhitung dia dalam waktu singkat.

“Saya akan memilih kepentingan politik.”

Sebelum Kang Jaya bertanya alasan, langsung Sura menyambung dengan argumentasi pragmatisnya.

“Dengan memilih kepentingan politik, saya masih berpotensi untuk mendapatkan keduanya. Sebaliknya, jika saya memilih wanita yang saya cintai, hari ini sepertinya saya berpotensi harus kehilangan tujuan politik saya.”

“Bagaimana mungkin dengan memilih kepentingan politik, kamu juga akan tetap mendapatkan wanita yang kamu cintai,” tanya balik Kang Jaya, seraya mengkritisi argumentasi pragmatis Sura.

“Karena dalam keyakinan saya, wanita tidak akan kecewa mendalam ketika disandingkan oleh hal lain, selain wanita. Dia akan memaklumi ketika saya lebih memilih kepentingan politik, ketimbang dia yang saya cintai. Politik dan wanita memiliki ruang perasaan berbeda.”

Mendengar argumentasi Sura, Tak sepatah katapun keluar dari mulut Kang Jaya. Alih-alih menjawab argumentasi Sura, Kang Jaya mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor yang akan dihubunginya, diarahkan ponsel itu ke telinga kanannya.

“Assalamualaikum Nak…”

“Mulai hari ini, kamu harus sudah menyudahi hubunganmu dengan Surawarman.”

“Dia bukan lelaki terbaik untukmu.”

“Kamu jangan bertanya dari mana Baba bisa mengetahui hubungan kamu dengan dia.”

“Sudah ya, Nak!”

“Assalamualaikum.”

Keringat mengucur perlahan dari dahi Sura. Tak mengira dia. Hanya Diam seribu bahasa tanpa tahu apa yang harus dilakukannya setelah mendengar percakapan Kang Jaya dengan seseorang yang diduga kekasihnya, Sulu.

Belum usai kecamuk dalam pikirnya, Sura harus mendengar pernyataan pahit dari caleg yang  makin dia yakini sebagai orang tua kekasihnya itu.

“Suluwati Kusumaningsih adalah putri tunggal saya. Kontak batin kami tidak bisa dikelabuhi oleh sekadar komitmen kalian. Saya mengamati gerak asmara kalian sejak lima tahun lalu. Akhirnya saya bisa paham dengan perjalanan asmara kalian. Bahkan saya mengetahui komitmen kalian untuk saling tidak bertanya soal latar belakang keluarga masing-masing, harapannya agar cinta kalian objektif.”

“Pertanyaan prinsip yang sudah anda jawab, memberikan ilustrasi karakter anda. Secara sadar, kamu mengakui dan mengatakan kepada saya bahwa kamu adalah pribadi pragmatis. Dan saya tidak ingin anak saya bersuami lelaki pragmatis.”

“Terima kasih atas waktunya, soal komitmen kita dalam hal kepentingan politik praktis tetap berlanjut. Saya berharap kamu tetap professional dan proporsional dalam kerja sama kita.”

“Saya ada rapat di DPP.”

Bergegas Kang Jaya meninggalkan Sura, tak lupa ke meja kasir untuk membayar apa yang sudah dipesan. Masih dengan tatapan kosong, Sura menatap langkah Kang Jaya menuju tempat parkir.

Sungguh Sura tak mengira, perjalanan asmaranya harus kandas. Lebih menyesakan, orang yang mengandaskan adalah orang tua kekasih yang notabene caleg yang akan diusung menuju kursi parlemen Kabupaten Jenaka Barat.

“Mengapa harus orang tua Sulu yang menjadi caleg itu,” gumamnya.

“Beginilah cinta, penderitaannya tiada pernah berakhir”. Tetiba saja, Sura teringat slogan cinta panglima Tian Feng, rekan Sun Go Kong dalam serial Kera Sakti, tontonan kegemarannya saat kecil dulu. Bukan Sura, jika harus larut dan meratapi keadaan yang sudah terjadi. Dia terdidik untuk tak berlama-lama dalam kegamangan oleh ibunya, sepeninggal ayahnya sepuluh tahun lalu. Baginya, apa yang terjadi hari ini adalah dialektika untuk esok hari.

NORMAN SENJAYA

Bagikan :

Advertisement