NYALANYALI.COM, Jakarta – Menanggapi adanya pembuatan “perjanjian damai” antara Dandim 1702, Letkol Inf Arif Budi Situmeang dan keluarga korban penembakan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya mengatakan:
“Aparat penegak hukum harus terus melanjutkan proses hukum dari kasus penembakan di Wamena ini. Sebab itu adalah kewajiban hukum pidana. Kesepakatan adalah hak setiap orang, namun tidak bisa menghapuskan unsur pidana dari perbuatan kriminal yang dilakukan dan tidak boleh menghentikan proses hukum. Penyelesaian perkara dengan kesepakatan tidak lebih dari upaya lari dari tanggungjawab pidana dan melanggengkan impunitas kepada pelaku-pelaku pelanggaran HAM di Papua.”
“Ini merupakan unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat negara. Sebagai negara pihak dari instrumen HAM internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Indonesia wajib menghormati, melindungi dan memenuhi HAM, termasuk untuk menghukum pelakunya dan memberikan keadilan untuk korban.”
“Santunan, meski telah disepakati dengan pihak korban, tidak bisa menggantikan proses hukum yang harus ditempuh. Ketidakmampuan negara untuk menyelidiki dugaan pembunuhan tidak sah, mengidentifkasi, mengadili, menghukum para pelakunya dapat berujung pada pelanggaran HAM tersendiri, yaitu gagal menghadirkan keadilan.”
“Kami mendesak para penegak hukum untuk segera melaksanakan penyelidikan yang imparsial, independen,dan menyeluruh terhadap peristiwa di Pasar Jibama ini dan memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab diadili sesuai ketentuan hukum yang berlaku.”
“Kami juga kembali mendesak agar pemerintah dan TNI mengambil langkah untuk memastikan bahwa kasus penembakan warga di luar hukum seperti ini, dimanapun itu, tidak terjadi lagi.”
Menurut informasi yang diterima Amnesty, pada tanggal 12 Juni 2021, Dandim 1702, Letkol Inf Arif Budi Situmeang, melakukan penandatanganan pernyataan damai dengan keluarga korban penembakan Eliur Kogoya.
Sebelumnya Eliur diberitakan telah ditembak di bagian kaki oleh seorang anggota TNI di Pasar Jibama, Wamena pada tanggal 4 Juni 2021.
Selain Eliur, seorang warga bernama Denis Tabuni juga ditembak dalam kejadian tersebut dan meninggal dunia.
Penembakan terhadap Denis Tabuni hanya merupakan salah satu kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Menurut catatan Amnesty, selama tahun 2018 hingga 2021 setidaknya terdapat 55 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga melibatkan aparat negara dengan 92 korban.
Dugaan pembunuhan di luar hukum terhadap Denis Tabuni telah melanggar hak untuk hidup – hak asasi manusia paling utama yang dilindungi oleh hukum internasional dan konstitusi Indonesia – serta hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12/2005.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menempatkan tentara dalam ranah wewenang peradilan sipil untuk pelanggaran berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun sayangnya, ketentuan ini belum diimplementasikan karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih gagal mengubah Undang-Undang tentang Peradilan Militer (UU No. 31/1997) yang menyediakan yurisdiksi bagi peradilan sipil atas personil militer untuk semua kejahatan yang dilakukan terhadap warga sipil.