NYALANYALI.COM, Jakarta — Pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan dari Edhy Prabowo ke Sakti Wahyu Trenggono mendapat perhatian lebih Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Organisasi lingkungan hidup itu menyarankan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru dilantik agar tidak mengikuti jejak Edhy Prabowo. Kalau semangatnya akan lebih baik dari Edhy Prabowo, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membatalkan kebijakan ekspor bibit lobster. Alasannya, karena kebijakan itulah asal mula hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) beberapa waktu lalu.
Selain poin tersebut, WALHI juga mendesak Menteri KP yang baru agar mengintervensi Ranperda RZWP3K Provinsi Bali yang telah dikirimkan oleh Gubernur Bali ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk di evaluasi. Kawan-kawan ForBALI dan Walhi Bali telah berupaya maksimal untuk menggagalkan rencana reklamasi Teluk Benoa dan kini Teluk Benoa telah dijadikan wilayah konservasi maritim, namun di perairan lainnya masih memberikan ruang untuk tambang pasir.
Proyek-proyek besar yang merusak lingkungan hidup masih diakomodir dalam Ranperda RZWP3K Bali, seperti Tambang Pasir Laut di pesisir Kuta seluas 938, 34 hektare (Ha) dan Sawangan seluas 359,53 Ha, rencana perluasan Pelabuhan Benoa dengan cara reklamasi seluas 1.377,52 Ha, dan rencana pengembangan Bandara Ngurah Rai dengan cara reklamasi seluas 151,28 Ha.
Ditambah lagi dalam laporan yang disampaikan oleh Anggota DPRD Bali Nyoman Adnyana bahwa salah satu tujuan tambang pasir laut adalah untuk perluasan Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan untuk setiap reklamasi yang dilakukan oleh Bandara Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa, maka Pemprop Bali wajib mendapat minimal 10% lahan hasil reklamasi. Atas hal tersebut, kecurigaan WALHI Bali bahwa proyek tambang pasir laut untuk reklamasi Pelabuhan Benoa dan Bandara Ngurah Rai terbukti benar.
“WALHI mengecam keras 3 proyek yang merusak lingkungan tersebut,” kata I Made Juli Untung Pratama, Direktur Eksekutif WALHI Bali.
Proyek tambang pasir laut di sepanjang pesisir Kuta, sudah ditolak oleh seluruh Sekaa Teruma Teruni (STT) Se Desa Adat Legian, STT Desa Adat Seminyak dan organisasi-oranisasi yang memanfaatkan pesisir Seminyak, seperti: Asosiasi Surfing dan Asosiasi Pedagang Pantai Seminyak. Harapan mereka tersebut harusnya diakomodir oleh DPRD Bali karena mereka adalah masyarakat yang berhadapan langsung dengan proyek tersebut.
Namun faktanya DPRD Bali lebih memilih mengakomodir tambang pasir laut untuk perluasan KSN daripada mengakomodir aspirasi masyarakat pesisir Legian dan Seminyak.
Edo Rakhman, Kordinator Kampanye WALHI menambahkan selain persoalan RZWP3K Bali, Menteri baru juga harus terkait penolakan-penolakan warga lain terhadap aktivitas tambang pasir. Apalagi hal tersebut merupakan amanat Pasal 35 huruf i Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang berbunyi:
“Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya,” kata dia.
“Contohnya di Kodingareng, Sulawesi Selatan, terlepas izin dan legalitas perizinan tambang, tapi Sakti Wahyu Trenggono sebagai menteri harus peka terhadap suara penolakan rakyat. Berhenti menajdikan hukum sebagai dasar merusak lingkungan dan menghilangkan sumber penghidupan rakyat,” ujar Edo.
Persoalan di atas dan persoalan krusial kelautan lainnya harus ditindaklanjuti oleh Sakti Wahyu Trenggono sebagai menteri pengganti Edhy Prabowo dengan lebih mengakomodir aspirasi masyarakat pesisir. “Kepentingan rakyat, keselamatan lingkungan menjadi hal utama, bukan tunduk pada kepentingan investasi dan bisnis skala besar,” kata Edo.