NYALANYALI.COM, Opini – Betapa tak mudah menjadi pekerja pers saat ini, khususnya di media online.
Setiap kali harus harus cek trending keywords di Google, kemudian menulis berdasar keywords itu, berharap tingkat keterbacaan tinggi, users naik, pageviews melambung, iklan akan membumbung, kemudian naik gaji dompet terisi sampai kembung.
Bagaimana dengan integritas memberitakan warta yang keberpihakan kepada publik juga tinggi, meski tidak ada keywords di Google sama sekali hari ini?
Nyaris tak ada lagi yang memberitakan Harun Masiku di mana keberadaannya, sampai mana pengusutannya, skandal Meikarta siapa yang terlibat dan bagaimana kabar konsumennya, korupsi BLBI salah satu dari 18 kasus mega korupsi dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang belum tuntas, kasus pengemplangan Jiwasraya dan Asabri pun timbul tenggelam, apalagi soal-soal lingkungan hidup sedikit sangat disebut, juga soal layanan publik yang masih memprihatinkan. Makin jauh dari Ibu kota, makin kabur.
Kalah berita dengan artis tertangkap prostitusi online, gimmick selebritas, yang mendapat tempat dalam pemberitaan karena keywords Google menyarankan itu.
Setiap hari, keywords berita online bisa berubah cepat, mengikuti keinginan pembaca yang cepat juga. Cepat baca, cepat pula lupa.
Lantas, fokus berita online pun jadi gampang teralihkan. Persis masyarakat yang cepat mengikuti lampu sorot ke mana dipindahkan. Bagaimana dengan pemberitaan yang keberpihakan kepada publik tinggi, soal keadilan hukum, layanan kesehatan yang maksimal, perlindungan konsumen, pendidikan merata, sumber daya alam, masyarakat adat. Bisa kalah semua dengan keywords: giveaway artis.
Siapa yang salah? Ya, sayalah yang salah. Wong saya yang mempertanyakan. Coba diam-diam bae. Ya nggak jadi masalah. Berita ke sana sini ikuti saja keywords demi pageviews tinggi.
Dul, ketika media cetak berjaya, ingat benar para redaktur pelaksana akan uring-uringan kalau berita kita sama seperti media sebelah, apalagi sampai lebih rendah nilai informasinya, kalah sumbernya. Itu sebabnya banyak media saat itu berlomba membuat jurnalis investigasi, dari soal politik, hukum, sampai hiburan.
Investigasi klub malam di kawasan Blok M yang pernah saya tulis di Majalah Matra saat itu mengungkap banyak pekerja di bawah umur asal daerah di sana, dan kepolisian menutup area itu untuk penyelidikan, meski segel dua pekan kemudian dibuka lagi dan hura-hura kembali di kawasan Little Tokyo itu.
Bayangkan, jika itu saat ini, manakan ada beritanya karena trending keywords: “perlindungan anak bawah umur”, tidak seksi di keywords. “Klub malam” atau “prostitusi anak-anak”, mungkin masih bisa nyantol keywords, tapi apa bisa bersaing dengan keywords yang trending lain sekarang misalkan “Anak Pak Lurah” atau “Reshuffle Kabinet”.
Media online seperti tersandera keywords. Kalau mau banyak yang cari berita dan banyak dibaca ya ikuti keywords Google itu. Soal fungsi pers salah satunya yang menurut saya paling keren adalah sebagai kontrol sosial, ya jadi bisa didiskusikan lagi di belakang panggung.
Para senior jurnalis yang saya ingat selalu menggali berita sedalam-dalamnya, menggigit dan tak mau dilepaskan lagi, terlebih jika menyangkut kepentingan public, adu argumentasi di mana saja dan dengan siapa saj akan dijabani. Tidak ada dalam bayangan mereka dibaca 2 orang saja atau 200 juta orang, lagi-lagi jika menyangkut kepentingan publik tidak ada tawar menawarnya. Tulis dan ungkap.
Lain dulu, lain sekarang. Media-media khususnya online rasanya sudah makin tersandera keywords itu sehingga sadar atau tidak hanya mengikuti kemauan publik yang tercermin dari mesin pencari.
Bagaimana jika ada kekuatan besar yang setiap hari bisa mengalihkan isu, media online bisa bergeser ke sana ke mari ikut arus.
Salah satu fungsi pers sebagai kontrol sosial bahanya akan menjadi makin samar, karena berubah menjadi kontrol keywords Google setiap kali.
24 Desember 2020