NYALANYALI.COM – Jumat lalu merupakan puasa yang ketujuh. Tapi, awak baru merasa hari pertama Ramadan. Ini gara-gara sahabat Krisnadi Yuliawan yang mengajak awak menonton film dokumenter “Menenun Rindu” dan konser Panji Sakti. Awak penasaran ceritanya tentang lagu-lagu musisi Bandung itu yang seperti nyanyian sufi. Jadilah pagi harinya awak menghadap bos buat izin dari kantor dengan menunjukkan undangannya.
Dengan menaiki taksi dan MRT, kami berdua keluar kantor usai Sholat Jumat. Kami terlambat sampai di Ruang Gibraltar, Menara 165, Jalan T. B. Simatupang, Jakarta Selatan. Rupanya Penerbit Mizan berulang tahun ke-42. Pemiliknya, Haidar Bagir, memberi sambutan di panggung. Doktor Harvard University itu bercakap dengan Panji Sakti sebelum film diputar.
“Kalau Ramadan, saya biasanya mendengarkan lagu-lagu Abah Iwan Abdulrachman. Tapi sekarang ditemani nyanyian Panji Sakti yang membuat saya menangis pertama kali justru dengan sebuah lagu anak-anak, Agar-agar,” ujarnya.
“Menenun Rindu” disutradarai putra Haidar dan keponakannya menjadi cameraman. “Seorang teman bertanya, kenapa lagu-lagu saya hanya tentang Dia saja? Saya jawab, apakah ada yang selain Dia?” tutur Panji Sakti dalam film dokumenter itu.
Sungguh tauhid yang nyes sekali. Kalbu awak seperti dihunjam sembilu. Usai film, Haidar memanggil dua musisi, Sal Priadi dan Nadin Amizah. Keduanya tersendat bicara karena menahan haru.
Sebuah sajak Jalaludin Rumi, “Wahai Air Mata yang Berlinang”, yang digubah Panji Sakti tiga tahun silam, membuka konser intim ini. Awak jatuh cinta mendengarnya. Kedua mata awak pun mulai basah. “Bersama sebuah puisi Rumi lain, saya menggubah lagunya tak sampai sehari,” katanya.
“Wahai air mata yang berlinang
Utarakanlah ikhwal cintaku
Yang semakin berkembang kepada taman itu
Muara air mataku dan segala kesaksianku
Dan jika suatu saat nanti
Kau ingat malam-malam kita
Tolong lupakanlah
Mohon maafkanlah
Segala kerendahan adabku”
“Bagaimana mungkin saya yang kayak begini meminta surga kepada-Nya? Sangat tak punya adab,” ucap Panji. Bagi lelaki 49 tahun ini, hidup cuma bagai iklan yang lewat saja. Kehilangan demi kehilangan hanyalah lintasan untuk membuat diri lebih mendekati-Nya.
Lalu Panji Sakti memanggil putrinya, Sang Hawa, untuk menyenandungkan “Lagu Cinta”. Nyanyian yang merekam kasih sayang ayah dan putrinya. Kedua mata awak kembali tergenang, teringat anak semata wayang yang autis. Hawa pun menangis dalam pelukan ayahnya.
“Mengenangmu sungguh di kalbuku
Senyumanmu damaikan hatiku
Nggak seperti aku kepadamu
Selalu saja risaukan hatimu
Menimangmu pada saat itu
Bagai mimpi-mimpi yang terbeli
Memelukmu sepenuh jiwaku
Menjagamu apapun yang terjadi
Ada derita
Ada bahagia
Kita lalui bersama
Kaulah udara
Kaulah energi
Kaulah belahan jiwa
Nggak kan cukup lagu cinta manapun
Untuk melukiskan agungnya rasa
Syukurku atas kehadiranmu
Penuh cinta dan kasih
Oh, Ayahanda, kau yang kucinta
Duhai, Sang Hawa
(Iya, Ayah)
Kau yang kucinta
Engkaulah yang utama
Pertahanan awak bobol. Sesunggukan saat Panji Sakti membawakan “Sang Guru”. Karena itu awak tak sempat merekamnya. Gesekan cello dan biola berpadu dengan tiupan flute serta petikan gitar. Awak teringat Abang yang enam bulan silam berpulang.
“Bolehkah aku berteduh
Di bawah pohon jiwamu
Menikmati semilir hakikat
Di bawah rindangnya zikir
Menikmati buah-buahmu
Yang segar ranum dan memabukkan
Bolehkah aku menetap
Di balik pejaman matamu
Menikmati dinginnya mata airmu
Yang tak pernah berhenti jatuh
Kubawa pulang dan kusimpan
Di kemaraunya mataku”
Lantas Panji Sakti mengajak ratusan orang yang memadati ruangan menyanyikan lagu “Kepada Noor”. Senandung yang mengingatkan awak kepada puisi “Dalam Doaku” – Sapardi Djoko Damono yang menulis pertemuan dengan-Nya dari Subuh sampai Isya.
“Seperti burung yang sedang membuat sarang
Dari rumput dan ilalang
Kususuri setiap keindahan
Di wajah-Mu kusematkan
Rindu adalah perjalanan mengurai waktu
Menjelma pertemuan demi pertemuan
Catatannya tertulis di langit malam
Di telaga dan di ujung daun itu
Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang”
Lagu “Jiwaku Sekuntum Bunga Kemboja” menutup konser. Haidar meminta satu lagu favoritnya, “Evelin, Please”. Panji mengabulkannya. Sesudah dibawakan, Haidar bertanya, “Itu lagu tentang apa?” Panji tersenyum kecut. “Pak Haidar tahu titik lemah saya. Di rumah ada beberapa gitar, semua punya nama perempuan. Evelin salah satunya. Itu lagu tentang apa yang jiwa saya inginkan bila dikasih-Nya hidup lagi,” urainya.
Sehabis konser, ketika sholat Ashar di lantai 27 gedung itu, akhirnya awak tersungkur. Di Masjid Ar Rohim, masjid tertinggi di Jakarta, awak menangis lagi.
Setelah bak kingkong berdiri di bus TransJakarta menuju Depok, sesampai di rumah awak search beberapa video konser Panji Sakti. Awak tercekat melihat rekaman lagu “Dia Menunggu”. Panji Sakti nyaris tak sanggup menyenandungkan nyanyian kematiannya ini. Awak pun menulis catatan pendek:
“Lelaki itu tersendat melagu
menahan sesak dalam paru
Siapakah yang menebar haru?
hingga tangis menghanyutkan ragu
Malam menebarkan ayat-ayat-Mu
dari speaker masjid nan riuh selalu
Aku mendengungkan nyanyianmu
berbisik menyenandungkan rindu
Depok, 7-9 Maret 2025
RAMDAN MALIK