IMAJINASI

NYALANYALI.COM – Saya jadi teringat –meski samar-samar– kalimat yang disusun Slamet Gundono (almarhum) di salah satu nyanyiannya. Kira-kira, kalau di-Indonesia-kan berbunyi:

Ketika bocah, dulu / aku nonton wayang/ nonton bayang-bayang / di sana ada pendeta, ada raksasa, ada putri raja ada apa saja/ seperti kehidupan ini. Tapi ketika saya sudah dewasa/ ternyata hidyup bukan cuma itu/ hidup seperti dagangan di pasar/ kadang laku, kadang rugi / kadang kalah, kadang menang/ hidup tidak hanya soal kawin/ hidup tidak hanya soal makan/ hidup tidak hanya tentang kalah-menang, dan seterusnya, yang terus terang hanya sedikit sekali yang saya hafal.

Tetapi, kalimat-kalimat itu –yang keluar dari nyanyian Slamet Gundono, memang menjadi semacam ‘pemantik’ menuju satu hal yang sama, lewat susunan kata yang tidak harus sama.

Konon, yang membedakan manusia dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya–hewan, tanaman, batu, gunung, bakteri, angin dan sebangsanya adalah kemampuannya berimajinasi. Tuhan memberikan kelebihan ini kepada manusia. Inilah yang kemudian dirumuskan oleh orang Jawa menjadi cipta-rasa-karsa. Di sinilah sistem nilai itu disimpan, diolah untuk kemudian dijabarkan ke dalam keseharian perilaku dan sikap batin. Lewat tontonan wayang kulit, lewat penuturan seorang dalang, melalui tata musikal yang menyentuh, nilai disampaikan kepada yang menyimak–yang tidak menyimak, ya, ndak apa-apa..hehehe.

Dengan imajinasinya manusia bisa memahami simbol, lambang, tanda, dan nyaris apa saja yang ada di muka bumi ini. Dengan imajinasinya manusia bisa menghubungkan tanda, simbol, lambang yang ditemuinya atau bahkan diciptakannya untuk dikupas dan dimaknai. Itu sebabnya, masyarakat tradisional di pelbagai desa, dukuh, pedusunan di Indonesia ini masih banyak yang ‘menyimpan’ permata-permata kehidupannya di nyanyian, tarian, musik, vokal-vokal, lukisan, patung, relief, tenun, berbagai senjata, ukiran, komposisi ruang tempat tinggal, mantra-mantra, dan masih berderet panjang lagi, jika kita mau menyusunnya. Ini semua karena karunia Tuhan yang kita kenal sebagai imajinasi.

Jadi, sama dengan apa yang dikenang Slamet di masa kanak-kanaknya–lewat lagunya, tentu saja, saya pun belajar memahami hidup saya sendiri melalui wayang–pertunjukan wayang. Tentu, saya belajar matematika, fisika, Bahasa Indonesia, masak-memasak memang dari wilayah ‘di luar’ pertunjukan wayang. Akan tetapi, nilai kehidupan yang menurut saya paling pokok–tentang manusia itu sendiri, ada di dalam pementasan wayang (kulit, golek, beber, tanah dan sebagainya).

15 Februari 2021

YANUSA NUGROHO
Sastrawan

BACA:
Yanusa Nugroho: Saya Tidak tahu Negeri ini Sekarang Masuk Lakon Apa
Yanusa Nugroho: Dunia Sastra Bukan untik Cari Duit, Kalau Mau Kaya Jadilah Pengusaha

Bagikan :

Advertisement