Cerita dari Trowulan

NYALANYALI.COM, Kisah – Bangunan berdinding bata, beratap genteng mini, berpintu dan berjendela kayu yang nyaris seragam menempel di depan rumah-rumah, mengganggu mataku sesampai di Trowulan, Mojokerto, JawaTimur, pada 22 November 2016. 

Itulah cara pemerintah setempat menandai kecamatan ini sebagai bekas ibu kota kerajaan Majapahit. “Kosmetik rumah Majapahit” berbiaya sekitar Rp 50 juta per unit ternyata lebih penting ketimbang memproteksi situs 10 x 10 kilometer dari pembuat batu bata atau pedagang barang antik. 

Dengan gamang saya lalu memasuki Gedung Artefak Arkeologi, base camp para arkeolog bila sedang riset di Trowulan. Seorang kawan arkeolog yang bekerja di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Uni Watty, mengajakku untuk menulis secara populer hasil penelitian Puslit Arkenas tentang situs ini dari 1976  hingga sekarang, agar bisa dimengerti siswa SD, SMP, atau SMA di sekitar Mojokerto. Aku langsung menyanggupinya karena kangen situsTrowulan, setelah bertandang dua tahun sebelumnya.     

Tak tahan hawa panas khas Trowulan, aku menyeruput sebotol es “bir” kopi, sambil berjalan kaki mengelilingi Kolam Segaran pada sore hari. Peninggalan bangunan air sepanjang 375 meter, lebar 175 meter, serta dalam 3 meter ini ditemukan Maclaine Pont, seorang insinyur Belanda, pada 1926. Konon, kolam ini dulu menjadi tempat menjamu tamu-tamu kerajaan. Setelah makan dan minum, maka piring, mangkuk, gelas, serta sendok yang terbuat dari emas dibuang ke KolamSegaran, untuk menunjukkan kepada tamu kekayaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk.

Bersama Uni Watty serta dua rekan arkeolognya, Teh Titi dan Mas Sampak, awak ke Museum Majapahit keesokan harinya. Beruntung jalan ke museum dengan arkeolog, gudang tempat penyimpanan artefak yang haram untuk pengunjung biasa pun boleh dimasuki. Di sebelah museum, Mas Sampak sibuk memotret reruntuhan rumah Majapahit. Uni Watty pun turun ke bawah situs kotak galian (pit), diikuti saya. Jelang sore, hujan deras turun disertai angin kencang. Cuaca khasTrowulan yang telah memporak-porandakan beberapa tenda penaung situs permukiman Majapahit. 

Pada 24 November 2016, kami mendatangi dua desa di Trowulan yang baru ditemukan struktur bata. Para pembuat bata menemukannya bersama pecahan-pecahan keramik, umpak, dan sebagainya. Saat berjalan kaki menuju struktur dinding bata di desa pertama, Teh Titi menemukan pecahan kecil keramik hijau. Uni Watty dan Mas Sampak jadi bersemangat turun ke sawah. Di situ mereka menemukan lebih banyak lagi pecahan keramik.

Seorang pembuat bata memberikan sebuah patung lelaki dari tanah liat kepada The Titi. Pembuat bata yang lain memungut dua pecahan keramik tak berglasir dari balik lumpur sawah, lalu memberikannya kepadaku. Di desa kedua, Dusun Grogol tepatnya, struktur tembok bata lebih jelas. Batanya berukuran lebih besar daripada bata-bata sekarang. Artefak yang kami peroleh pun terkumpul tiga karung.      

Di bawah sawah serta ladang tebu atau jagung memang bertebaran peninggalan masa lalu. Para arkeolog sering kalah cepat dibanding pembuat batu bata yang kebanyakan berasal dari luar Trowulan, penadah atau pedagang barang antik. Situs yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Mojokerto ini juga berada di kawasan permukiman yang cukup padat, sehingga harus berpacu dengan penggunaan lahan untuk rumah maupun kebun.  

Keesokan harinya aku membantu membersihkan pecahan keramik dari lumpur di base camp. TehTiti mengajarkan saya membersihkannya dengan sikat gigi. Tapi aku tak sabar, lebih sering menggunakan sikat lantai. Setelah dijemur, sebuah pecahan kecil keramik ditunjukkan Uni Watty kepadaku. “Ini buatan Cina dari abad ke-10!” serunya sambil tersenyum. 

Dengan keahliannya sebagai arkeolog, kedua perempuan ini seperti “berdialog” dengan benda-benda. Sebuah pecahan kecil keramik saja telah “berbicara” tentang Trowulan, yang bukan saja merupakan ibu kota Kerajaan Majapahit sejak didirikan Raden Wijaya pada 1293 hingga runtuh pada 1511 semasa Raja Girindrawardhana, tapi sudah menjadi kota tiga abad sebelumnya.

Pada 26 November 2016, kami bertandang ke Sentonorejo. Selain kaki bangunan dari tanah yang ditemukan di halaman Museum Majapahit pada 1995 dengan susunan bata di sekelilingnya, hasil penelitian Puslit Arkenas pada 2007-2013 menyimpulkan, Sentonorejo merupakan bagian dari areal kompleks keraton Kerajaan Majapahit.  Lantai segi enam berupa 104 buah ubin yang direkatkan dengan tanah diperkirakan bangunan rumah bangsawan. 

Sumur Upas pun berada di Sentonorejo, berupa struktur bata berbentuk lubang sumur berdiameter 80 sentimeter yang ditutup dengan sebuah batu andesit. Pernah ada yang mencoba masuk ke dalam lubang tersebut akhirnya lemas, sehingga orang-orang percaya lubang itu mengandung racun yang dalam bahasa Jawa disebut upas. 

Di Sumur Upas juga terdapat Candi Kedaton yang merupakan bagian dari kaki candi berbentuk empat persegi panjang. Di situs Sentonorejo ditemukan pula keramik-keramik asing dari Tiongkok (Dinasti Song dan Yuan abad 13-14, Ming abad 15-16), Vietnam (abad 14-15), sertaThailand (abad 14-15). Temuan keramik ini menunjukkan hubungan dagang Majapahit dengan orang-orang asing.

Dari Sentonorejo, kami meneruskan perjalanan ke Candi Minak Jingga. Di candi yang tinggal reruntuhan ini, terdapat relief elok rumah pada zaman Majapahit. Kendati bukan sebuah bangunan utuh, di bagian atas candi ditemukan arca Minak Jingga, putra Hayam Wuruk.  

Sore harinya awak berjalan kaki dari base camp ke Bejijong. Burung-burung terbang melayang di atas ladang tebu. Di kejauhan pucuk Candi Brahu terlihat elok nian. Saya suka sekali jalan menuju Candi Gentong dan Brahu yang kiri kanannya berjejer pepohonan hijau. Sebelum ke Brahu, kuhampiri dulu Candi Gentong yang tinggal pondasinya saja. 

Sepekan sudah di Trowulan, tak banyak lagi yang saya kerjakan. Kubersihkan sisa pecahan keramik serta kutulis keterangan tempat dan waktu penemuan di bodinya. Sore hariku berjalan kaki ke musala dekat base camp. Nama langgarnya menarik, Raden Wijaya, pendiri Majapahit yang nota bene kerajaan Hindu-Buddha. Buat umat Islam di Trowulan, mengabadikan nama kakek moyang yang mendirikan kerajaan besar di tempat sekarang mereka tinggal ternyata lebih penting daripada sekadar identitas agama. Sebuah kearifan hidup bertoleransi di tengah radikalisasi agama yang merebak belakangan ini.

Kemudian kusewa sebuah becak motor yang pengendaranya seorang lelaki tua. Saya mendatangi Gapura Bajang Ratu yang diperkirakan berdiri pada 1340, untuk memperingati Raja Jayanegara, putra Raden Wijaya, yang tewas dibunuh tabib Tanca. 

Perjalanan dengan betor kulanjutkan ke Candi Tikus, bangunan pemandian (petirtaan) yang ketika ditemukan banyak tikus bersembunyi di candi ini. Terakhir, kubertandang ke Gapura Wringin Lawang, sebab gelap saat kuziarahi pada malam hari sepekan silam.

Berat rasanya meninggalkan Trowulan yang pernah menjadi pusat Majapahit, kerajaan besar yang pada masa kejayaannya –abad ke-14 semasa Hayam Wuruk berkuasa—bersahabat dengan kerajaan-kerajaan (mitrasatata) di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Thailand, Kamboja, Vietnam, sertaTiongkok. Saya teringat cerita Mpu Prapanca, pewarta Majapahit, dalam Nagarakertagama yang selesai ditulisnya pada 1365: “Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut pura waktra menghadap ke lapanganluas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng ditanami brahmastana (beringin), berderet-deret memanjang dan beraneka bentuknya. Di situlah tempat tunggu para perwira yang sedang meronda menjaga paseban.”

RAMDAN MALIK
Buku #sayabelajarhidup ke-9: Nusantara Berkisah 01 (2018)

Bagikan :

Advertisement