NYALANYALI.COM, Jakarta – Kata ‘Mojo’ identik dg penyebutan nama Kerajaan Mojopahit, sebuah imperium raksasa di masa lalu. ‘Mojo’ adalah nama buah yang kerap disebut rasanya pahit. Benarkah mojo rasanya pahit? Jawabannya adalah, tidak benar.
Entah siapa yang kali pertama mengabarkan bahwa buah mojo rasanya pahit. Ataukah berawal dari kisah di naskah kuno, tentang seorang raja yang menamakan kerajaannya Mojopahit karena terinspirasi setelah memakan buah mojo yang rasanya pahit?
Keberadaan buah mojo di tlatah Jawa bisa jadi mendahului dari beragamnya lapisan peradaban kerajaan. Eksistensinya mjd cikal bakal lahirnya penamaan banyak wilayah atau biasa disebut toponimi. Penyebutan itu juga disesuaikan dengan situasi tertentu, baik kondisi alam, flora dan fauna yang khas di wilayah tersebut.
Selain Mojopahit, banyak penamaan wilayah yang memakai awalan kata ‘mojo’. Sebut saja Mojokerto, yang dipercaya sebagai bekas pusat kerajaan Mojopahit. Atau wilayah yang mjd sebaran DAS Brantas, seperti Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojotrisno, Mojongapit, Mojokuripan. Ada juga Mojo dan Mojoroto di Kediri. Serta, Mojosari di Nganjuk dan Tulungagung.
Di luar kawasan Brantas, ada Mojodelik di Bojonegoro, Mojolegi di Boyolali, Mojosongo dan Mojolaban di Solo, Mojotengah di Wonosobo, Majalengka di Jawa Barat. Kesamaan penggunaan nama ‘Mojo’ tersebut barangkali dipengaruhi faktor, seperti migrasi penduduk atau keterpengaruhan budaya.
Di dunia pengobatan, terdapatlah sebuah tradisi lisan yang dikabarkan oleh Osing, suku di ujung timur Jawa, bahwa buah mojo dapat dikonsumsi sebagai obat/ jamu penyembuh berbagai penyakit, seperti luka di kulit (gatal, luka bakar), sariawan, meningkatkan imunitas, penetralisir tensi darah, asma, maag, diabetes, hingga kanker.
Disaat manusia bergelut dengan sawan bernama Corona,
Disaat biaya kesehatan makin tak tergapai,
Disaat asuransi kesehatan kian tak menentu,
Mari kembali ke pengobatan warisan leluhur.
25 Maret 2021
AGUSTIN ARIANI
Filolog dan peneliti