MA Tutup Pintu Audit BPJS Kesehatan untuk Publik, Kok Bisa?

NYALANYALI.COM, Jakarta – Pupus sudah harapan warga untuk dapat mengakses hasil audit BPKP terhadap Dana Jaminan Sosial BPJS Kesehatan. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 603 K/TUN/KI/2020 menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta serta Lokataru Foundation.

Putusan MA ini bermula ketika pada 6 Juni 2020 silam PTUN Jakarta membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia yang menyatakan hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan sebagai informasi yang terbuka. Komisi Informasi sebelumnya mengabulkan permohonan ICW.

ICW bersama LBH Jakarta dan Lokataru Foundation kemudian mengajukan kasasi atas putusan PTUN Jakarta tersebut. Alasan utama pengajuan kasasi adalah karena hakim tidak mempertimbangkan urgensitas dari dokumen audit. Hakim hanya mempertimbangkan ketentuan formil uji konsekuensi yang problematik karena prosesnya ditentukan sepihak oleh lembaga yang mengelola informasi tersebut. Adapun hingga pernyataan ini dibuat, Pemohon belum dapat mengakses salinan putusan lengkap.

Hasil audit BPKP terhadap pengelolaan dana BPJS Kesehatan ini sangat penting diketahui publik untuk mengurai problem buruknya pengelolaan dana Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan. Sebagaimana diketahui, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 7/P/HUM/2020 pernah membatalkan pengaturan kenaikan iuran BPJS dalam Perpres 75/2019 dengan mempertimbangkan hasil audit BPKP tersebut. Ketika itu MA menilai bahwa problem defisit anggaran BPJS tidak dapat dibebankan pada rakyat dengan kenaikan iuran sebab hasil audit menemukan adanya kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.

Setidaknya putusan MA ini mengajarkan warga bahwa:

Pertama​, putusan MA tidak berpedoman kepada hak atas informasi yang sudah dijamin oleh Pasal 28F UUD NRI 1945. Selain itu, MA telah mencederai semangat keterbukaan informasi publik yang merupakan salah satu ciri penting dari negara demokratis demi mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Hal tersebut sebagaimana telah diamanatkan melalui UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Kedua​, putusan MA telah mematahkan peran aktif dan partisipasi warga untuk mengawasi kinerja BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Mahkamah Agung luput untuk mempertimbangkan bahwa persoalan defisit tak berkesudahan ditubuh BPJS Kesehatan sejak pertama kali beroperasi pada tahun 2014-2019 merupakan alasan mendesak mengapa informasi hasil audit wajib dibuka kepada publik.

Putusan MA ini juga telah mengkhianati tujuan pengesahan UU Keterbukaan Informasi Publik, yakni agar warga dapat mengetahui seluk-beluk kebijakan dan informasi public yang berpengaruh terhadap hajat hidupnya. Apalagi tak dapat dipungkiri bahwa kebijakan JKN yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan memiliki pengaruh terhadap hajat hidup orang banyak. maka dengan demikian putusan MA yang membatalkan permohonan kasasi telah keliru.

Ketiga​, MA gagal memahami posisi BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Konsekuensi dari status badan hukum publik tersebut bahwa kepemilikan BPJS Kesehatan terletak pada orang/lembaga yang menempatkan modal/aset pada BPJS Kesehatan. Warga sebagai peserta yang rutin membayar iuran merupakan pemilik resmi dari BPJS Kesehatan. Lalu pertanyaannya, bagaimana mungkin pemilik dari suatu badan dihalang-halangi untuk memperoleh informasi dari badan yang dimilikinya?

Urgensi terbukanya informasi terhadap permasalahan defisit BPJS Kesehatan kian mendesak ketika pemenuhan hak atas kesehatan menjadi begitu penting di tengah pandemi. Meski kita ketahui bahwa BPJS Kesehatan tak memiliki kontribusi signifikan dalam menangani pandemi COVID-19, tetapi minimal kita berharap badan ini tidak bubar jalan akibat defisit yang terus berulang sehingga mengakibatkan akses pelayanan kesehatan esensial lainnya terganggu.

ICW, LBH Jakarta, dan Lokataru Foundation tetap berupaya untuk mendapatkan informasi hasil audit dana jaminan sosial yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Permintaan informasi telah dilakukan kepada Kementerian Keuangan dan mereka menolak untuk memberikan informasi tersebut. Permohonan sengketa informasi kini telah diajukan kepada Komisi Informasi Pusat. Komisi Informasi Pusat mesti segera menyidangkan perkara tersebut dan memutuskan bahwa dokumen hasil audit adalah informasi yang terbuka bagi publik luas.

Sumber: ICW – antikorupsi.org

Bagikan :

Advertisement