NYALANYALI.COM – Siapa yang tidak mengenal Subak? Sistem pengairan kuno yang berkaitan dengan irigasi pertanian di Bali. Keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali ditemukan pertama kali dalam Prasasti Sukawana A1 (882 Saka) yang menyebut kata ‘huma’, berarti sawah; Prasasti Trunyan(891 Saka) yang menyebut kata ‘serdanu’, berarti kepala urusan air danau; Prasasti Bebetin (896 Saka) dan Prasasti Batuan(1022 Saka) yang menjelaskan tentang tiga kelompok pekerja khusus sawah, salah satunya ahli pembuat terowongan air yang disebut ‘undagi pangarung’, di mana pekerjaan ini masih dipakai dalam subak di masa modern.
Kata subak adalah bentukan modern dari kata ‘suwak’, ditemukan dalam Prasasti Pandak Badung (1071 Saka) dan Prasasti Klungkung (1072 Saka). ‘Suwak’ berasal dari kata ‘su’ yang berarti baik dan ‘wak’ yang berarti pengairan, sehingga ‘suwak’ berarti pengairan yang baik. Subak telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada sidang ke-36, tanggal 29 Juni 2012 di St. Petersburg, Rusia. Warisan budaya ini berupa sistem pengelolaan air pertanian di Bali dengan sebutan ‘Cultural Landscape of Bali Province : The Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy’.
Pengaturan subak tidak dapat dilepaskan dari konsep agama Hindu Tri Hita Karana, yaitu perumusan harmonisasi dari tiga unsur : keharmonisan manusia dengan Tuhan, keharmonisan antar-manusia, dan keharmonisan manusia dengan alam. Masyarakat Bali meyakini, bahwa kepemilikan tanah dan air berada di tangan Dewi Sri, sang Dewi Pertanian dan Kesuburan, maka dibangunlah sarana ritual peletakan sajen di beberapa persawahan di Bali.
Perjalanan peradaban suatu bangsa tidak terputus karena adanya batas teritorial. Ide pemikiran akan melahirkan kreatifitas, sebagai dasar sebuah konsep atau kerangka berpikir, dapat bersumber dari satu ide lalu menyebar, atau mengadaptasi ide sebelumnya lalu melahirkan kreatifitas baru. Kesamaan sistem, konsep, hingga penamaan di beberapa wilayah kerap terjadi, diperkirakan karena faktor migrasi penduduk atau keterpengaruhan budaya. Jika hingga kini subak terlihat jelas dalam tradisi Bali, apakah tradisi serupa juga ditemukan di wilayah lain?
Jejak Subak dalam Cerita Rakyat Dyah Sriyati di Telaga Bedakah, Wonosobo
Kedaulatan pangan adalah tolok ukur sebuah pemerintahan maju. Julukan ‘Nusantara Negeri Agraris’ telah disematkan ratusan tahun lalu, di mana sistem pertaniannya telah tertata baik, termasuk tata irigasinya. Pokok dari segala permasalahan bersumber pada air sebagai sumber kehidupan. Dalam penelusuran sejarah, bukti peninggalan masa lalu yang berkaitan dengan sumber mata air tercatat dalam beberapa prasasti warisan era Medang Mataram, antara lain : Prasasti Tulang Air I (850 Masehi) yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan, isinya tentang pembahasan air telaga, dan Prasasti Tuk Mas (diperkirakan abad ke-6 hingga ke-7 Masehi) yang ditemukan di lereng Gunung Merapi, isinya tentang sumber mata air yang berkilauan seperti emas dan disucikan umat Hindu Syiwa.
Menurut Prasasti Kuti (809 Masehi), ditemukan di dekat Candi Arjuna, dan Prasasti Wanua III (908 Masehi), ditemukan di Temanggung, keduanya menceritakan tentang sebuah pemerintahan besar di Medang Mataram, di mana teritorial Wonosobo masuk dalam kewilayahannya. Bukti kepurbakalaan berupa benda; bangunan; struktur; situs; bahkan kawasan cagar budaya sangat banyak dan tersebar.
Selanjutnya, prasasti berbeda menyebutkan, bahwa pusat pemerintahan Medang Mataram yang semula berada di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur oleh Pu Sindok, ditemukan dalam teks prasasti : “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.” Pu Sindok membangun ibu kota baru di daerah Tamwlang (Prasasti Turyan, 929 Masehi). Kemudian istana dipindahkan ke Watugaluh (Prasasti Anjukladang, 937 Masehi). Baik Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan berada di sekitar Jawa Timur.
Perpindahan pusat pemerintahan tentu bersamaan dengan migrasi penduduknya, otomatis budayanya pun mengikuti. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika bukti kepurbakalaan tidak lagi ditemukan di bekas wilayah sejarah, bagaimana cara kita menelusuri jejak sejarahnya? Jawabannya adalah, melalui kajian folklore atau cerita rakyat, sebagaimana kejeniusan pendahulu kita yang mampu menyimpan segala fakta sejarah agar tidak rusak dan tetap dikenang abadi oleh penerusnya dalam sebuah ‘soft-file’ kebudayaan, berisi warisan intelektual beserta simbol-simbol budaya yang menyertainya.
Sebuah cerita rakyat tentang irigasi pertanian kuno dituturkan secara temurun oleh masyarakat di tepi Telaga Bedakah, Wonosobo. Dikisahkan, keberadaan sumber mata air bernama Tuk Sriyati disucikan oleh masyarakat setempat. Setiap 70 hari atau rong selapan selalu diadakan ritual tabur bunga di tiga titik yang mereka anggap sebagai pusat energi dari jejak aktivitas masa lalu (kini dikeramatkan sebagai makam tokoh), yaitu Sendhang Antahpuri dengan penokohan Dyah Sriyati, Sendhang Kapurusan atau Siton dengan penokohan Raden Notokusumo, dan sebuah makam dari Abu Bakar yang dianggap sebagai abdi Raden Notokusumo, sekaligus pembuka hutan.
Sendhang Antahpuri berlokasi paling dekat dengan Tuk Sriyatiyang saat ini dicungkup sebagai makam Dyah Sriyati, dikelilingi bambu dan sungai, sedangkan Sendhang Kapurusan atau Siton berada di bawahnya. Sebutan ‘Siton’ berdasarkan dialek Wanasaban, berasal dari kata ‘si’ berarti kata tunjuk pada sesuatu dan ‘ton’ atau ‘katon’ berarti kelihatan, sehingga diinterpretasikan menunjuk pada sesuatu yang menarik perhatian. Sitondisebut pula petinggi atau mertinggi, artinya pejabat tinggi yang diduga Raden Notokusumo.
Berada di bawahnya lagi, terdapat sebuah lubang gua yang disebut ‘gubuk kecil’, saat ini dicungkup sebagai makam Abu Bakar. Konon ‘gubuk kecil’ tersebut mampu menampung lebih dari lima puluh orang di dalamnya, berkaitan dengan keberadaan Nyi Roro Kidul dan Dewi Lanjar. Keempat nama yang dicetak tebal tersebut adalah kode-kode budaya bermakna tersirat. Lantas, ada keterkaitan apakah dengan subak? Mari kita ulas satu persatu.
Pengejahwantahan Dewi Sri dalam Tokoh Dyah Sriyati
Studi tentang tanda atau kode masuk dalam kajian semiotika, di dalamnya membahasikon, simbol, dan indeks. Ikon adalah sesuatu benda fisik yang menyerupai apa yang dipresentasikannya. Dalam penokohan Dyah Sriyati, ikonnya adalah perempuan cantik yang dimuliakan, pengejawantahan dari Dewi Sri atau Dewi Kesuburan.
Simbol adalah dunia lambang, yaitu dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan, bersifat dinamis, khusus, subyektif, dan majas. Tokoh Dyah Sriyati merupakan ejawantah dari Dewi Sri atau Dewi Kesuburan, sosok yang selalu dikejar, dibutuhkan, dan dimuliakan, adalah personifikasi dari makanan pokok atau padi. Sedangkan tokoh Nyi Roro Kidul dan Dewi Lanjar merupakan manifestasi dari penguasa laut selatan dan laut utara Jawa, adalah personifikasi dari air. Lokasi Tuk Sriyatisebagai poros tengah dan tertinggi mampu mengalirkan air hingga bermuara ke laut selatan dan laut utara Jawa.
‘Gubuk kecil’ yang memuat lebih dari lima puluh orang adalah gambaran dari terowongan besar. Hal ini diperkuat adanya mitos penampakan ular besar, sebagai simbol panjangnya terowongan atau saluran irigasi tersebut. Dituturkan pula, bahwasanya selendang Dyah Sriyati yang berwarna keemasan mampu menyembuhkan berbagai penyakit, sebagai simbol aliran air alkali bersumber dari Tuk Sriyati yang melewati bebatuan dan menyerap mineral, sehingga pHnya meningkat. Sementara itu, tokoh Raden Notokusumo sebagai pejabat tinggi adalah duta pemerintah yang bertugas menata keindahan, adalah gambaran dari pengatur irigasi pertanian (jaga tirta; kamituwa; ulu-ulu dalam istilah Bahasa Jawa).

Indeks diartikan sebagai hubungan sebab-akibat antara penanda dan pertandanya. Ritual rong selapan adalah tradisi yang terjaga hingga kini di masyarakat Telaga Bedakah. Diadakan setiap 70 hari, alasannya berkaitan dengan perhitungan Jawa dalam menanam padi. Dapat dikatakan, bahwa tujuan ritual ini sebagai dampak positif yang dirasakan masyarakat atas berkah alam yang telah diberikan Tuhan. Ritual rong selapan merepresentasikan, bahwa masyarakat Bedakah sebagai makhluk ciptaan-Nya sangat berterima kasih telah diizinkan menggunakan tanah dan air sebagai perantara aktivitas bertaninya.
Kenapa diadakan ritual rong selapan di Tuk Sriyati? Indeksnya adalah, penerapan salah satu konsep Tri Hita Karana, tentang keharmonisan manusia dengan alam (tanah dan air). Ritual rong selapan berhubungan erat dengan filosofi dan keyakinan akan kesucian air. Air diposisikan sebagai pusat kehidupan dan roh dalam kehidupan bertani, sehingga harus selalu disucikan. Energi kehidupan Dyah Sriyati pada Tuk Sriyati dijadikan pusat ritual, karena dianggap pengejahwantahan Dewi Sri atau Dewi Kesuburan, simbol dari padi.
Kesamaan Ritual Rong Selapan di Wonosobo dengan Ritual Pantun Mayusa di Bali
Pantun Mayusa berasal dari kata ‘pantun’ berarti tanaman padi dan ‘mayusa’ berarti usia. Pantun mayusa adalah rangkaian ritual pertanian yang dilakukan oleh petani Bali saat tanaman padi berusia 12 hari; 17 hari; 24 hari; 27 hari; 35 hari; dan 70 hari, ibarat selamatan seorang anak yang memasuki usia pertumbuhan. Rangkaian ritual tersebut adalah ritual mubuhin (menghaturkan bubur), dilakukan saat tanaman padi berusia 12 hari. Sajen diletakkan di petak sawah di segala penjuru mata angin, menyimbolkan peneguhan roh atau jiwa pada seorang anak yang berusia 12 hari agar tumbuh sehat.
Pada usia tanaman padi 35 hari diadakan ritual dedinan kapertama (peringatan usia satu bulan), sajennya makin beragam, ibarat pertumbuhan anak akan membutuhkan tambahan nutrisi. Saat usia tanaman padi 70 hari diadakan pula ritual dedinan karo (peringatan usia dua bulan), ibarat seorang anak yang tumbuh dewasa, maka nutrisi pertumbuhan atau penggambaran sajen ritual pun semakin komplek. Ternyata, ritual peringatan usia tanaman padi di Bali memiliki kesamaan dengan ritual 70 hari atau rong selapan di Wonosobo.
Meskipun tata cara dan sarana ritualnya berbeda, tetapi esensinya sama, yakni wujud syukur kepada Tuhan atas penciptaan tanah dan air sebagai penghantar keberhasilan panen padi yang dimanifestasikan sebagai Dyah Sriyati. Di Bali, sajen di letakkan pada bangunan kecil berbahan batu yang ada di persawahan-persawahan, namun di Wonosobo bangunan semacam itu hanya tersisa beberapa dalam catatan temuan kepurbakalan.
‘Air mengalir dari hulu menuju hilir’, jika hilirnya telah ditemukan, maka penelusuran fakta hulu harus dilakukan agar rangkaian kisah menjadi semakin jelas dan utuh. Folklore dianggap gambaran pengetahuan masyarakat masa lalu terhadap peristiwa yang pernah terjadi. Penambahan dan pengurangan isi folklore dianalogikan seperti permainan ‘kata berantai’, semakin jauh dari penutur asal maka kalimat semakin buram. Kejelian mengungkap kode-kode tersirat disertai pendekatan sains akan mengantarkan pada fakta sejarah sebenarnya.
Apakah subak Bali adalah hasil keterpengaruhan budaya dari era Medang Mataram?? Mengingat perpindahan pusat pemerintahan dan migrasi penduduk, seperti pada Prasasti Turyan (929 Masehi) dan Prasasti Anjukladang (937 Masehi). Penasaran?? Mari kita mulai menjelajah aliran hulunya.
AGUSTIN ARIANI