NYALANYALI.COM, Kisah – Ramadan seperti ini selalu mengingatkan saya pada Tual. Kepulauan kecil antara Ambon dan Banda. Bahkan telah masuk di Kepulauan Aru, dengan Pulau Kei dan Kei Besar meyembul dari kedalaman lautan. Jauh tak terbayang sebelumnya.
Empat tahun lalu.
Di tengah bulan puasa. Aku harus berlari-lari di Bandara Pattimura, Ambon mengejar pesawat kecil, dua baling-baling, untuk terbang ke Bandara Dumatubun, Tual. Jadwal penerbangan terbatas dan pesawat yang terbang tak tinggi masih di bawah awan, di atas sedikit tinggi pohon kelapa.
Beberapa kali pesawat bergoyang-goyang, tetangga sebelah, lelaki Bugis, pemilik warung makan di Kota Tual, membaca doa cukup keras. Penumpang lain komat-kamit. Aku asyik menikmati elok pemandangan dari jendela pesawat yang buram. Apa yang akan kutemui di bawah sana? Sebuah tempat antah berantah menurutku.
Pesawat cebol itu mendarat keras. Bertumburan dengan landasan pendek. “Alhamdulillah” teriak seorang penumpang. “”Ameeeen” sambut lainnya. Senyum saling tebar sesama penumpang. Aku terkejut bukan kepalang. Saat serombongan orang menungguku. Mengajakku, setengah memaksa naik sebuah angkot, dan diiringi tiga angkot lainnya yang penuh sesak. “Tamu Pak Eki, kah?” tanya seorang di antaranya. Aku mengangguk. Dan itulah kejadiannya.
Eki Talaut, lelaki tua, pensiunan PNS yang kemudian menjadi orang yang kutuju, karena dia menciptakan alat musik khas dari bambu, menciptakan ratusan lagu daerah, memberdayakan orang sekitar dari guru, petani, penganggur sampai preman untuk bersama meningkatkan sejahtera melalui kolam-kolam ikan kecil, dan membangkitkan musik daerah.
Angkot yang kutumpangi itu, dan tiga angkot lainnya, di pesan Pak Eki menjemputku. Kikuk juga rasanya. Artis bukan. Pejabat bukan. Lelaki berwajah sangar yang menyetir angkotku seperti bisa membaca pikiranku. “Bapak, kami tak menyambut pejabat seperti ini. Tapi Bapak tamu Pak Eki, sama saja tamu kami semua, kami akan menyambut dan menjaga Bapak selama di sini dengan nyawa kami.” Ups!

Andre Sauraja nama sopir itu. Mantan preman yang bangga gelarnya sekarang sebagai pemusik bambu. Ia menceritakan, belum lama terjadi kerusuhan di Tual, antar masyarakat yang penyebabnya pun tidak jelas, dan sudah berulang terjadi, bahkan membawa korban pula. Aku garuk-garuk kepala, Tual ini Masih Indonesia, kan? Bukan Afghanistan atau Somalia?
Dan, Pak Eki sekeluarga menyambutku dengan ramah. Ternyata dia orang yang dituakan di kampungnya. Pertanyaan pertama sambil masih menjabat tangan, tak kuduga. “Bapak puasa?” Aku mengangguk.
Pembicaraan di ruang tamunya yang tak seberapa luaspun kemudian tentang musik bambu itu. Jelang sore aku diantar Andre ke penginapan. Sebuah rumah bertingkat dua, yang dibuat kamar -kamar, mereka menyebutnya hotel terbaik di kota Tual saat itu.
Pintu kamar diketuk. Andre muncul. “Bapak ditunggu di rumah Pak Eki, sekarang “. Sore itu juga berbonceng motor kami ke rumah Pak Eki lagi. Di sana nampak ramai orang. Aduh. Apalagi ini.
Wajah-wajah yang tak kukenal itu menyunggingkan senyuman. Laki dan perempuan menjabat tanganku erat. Anak-anak kecil membuntutiku, sejak turun motor hingga halaman dan masuk rumah. Di ruang tamu sudah banyak orang, susunan kursi siang tadi berubah.
Aku masuk, mereka berdiri, bersalaman lagi, tersenyum lagi. Dan, setelah sambutan petatah petitih. Tiba-tiba suara motor meraung. Gubrak. Buru-buru masuk anak muda, semua mata menatapnya, dia celingukan, “Sudah Allah Akbar, Bapak”.
Pak Eki tangannya memberi tanda. “Selamat berbuka puasa, Bapak. Silakan makan masakan kami yang sederhana.” Seperti disergap kagum, aku masih belum bisa berdiri dari kursi. Perempuan agak gemuk berdiri ke depan, dia memperkenalkan diri sebagai Pendeta di kampung itu.
“Bapak, kami bersyukur dan dengan gembira mengantar Bapak berbuka puasa hari ini. Semoga puasa Bapak diberkati,” katanya.
Mereka tak satupun mendekat meja makan. Mempersilakanku terlebih dahulu mengambil minum dan makanan. Hanya saya yang berpuasa, karena saya muslim seorang di antara mereka yang beragama Katolik. Ada rasa yang begitu dalam menyentuh. Dingin yang menjalar. Bergetar seluruh sendi hati.
Lima hari kemudian, begitulah ritual jamuan buka puasa, dengan menu seadanya dan sambutan ibu Pendeta disaksikan banyak orang. Mengambil makanan yang pertama, tak satupun yang meminum atau makan sebelum datang anak muda pembawa pesan “Sudah Allah Akbar, ” yang maksudnya telah adzan, karena dia bertugas menunggu suara adzan di sebuah masjid di bawah, jauh di kampung Arab di pesisir.

Lima hari itu pula di depan pintu kamar penginapanku Andre berjaga sepanjang malam. “Bapak tamu kami, saya ditugaskan menjaga Bapak. Nyawa saya taruhannya.”
Ramadan, selalu mengingatkanku tentang Tual. Sebuah negeri yang pernah kurasakan keramahan dan kedamaiannya. Meski tak sama agama, tak sama suku bahasa ibu, mereka menganggapku bagian mereka. Sampai hari ini. Kadang kiriman ikan asin asli Tual muncul pula sebagai tanda rindu.
Tual, 5 Juli 2015
S. DIAN ANDRYANTO
Buku #sayabelajarhjidup 1 : Empati (2015)