NYALANYALI.COM, Kisah – Laras, anakku. Tahun ini 12 tahun usianya. Anak bungsuku, dari lima bersaudara. Dia istimewa.
Tak pernah sekalipun aku dan istriku menduga, bayi cantik kami itu terlahir sepi. Tanpa seutas suarapun menembus telinganya. Lengkingan tangisnya sendiri pun tak bisa ia dengar.
Tak mengerti kami, Laras tak mendengar apa-apa sesungguhnya. Mengajarkannya berkomunikasi tak mudah. Setiap kata yang diucapkan selalu berbeda.
Hingga itu hari, sudah kelas dua SD dia. Aku melihat, dia diminta maju untuk menyanyi di depan kelas. Anak yang sungguh periang itu pun maju. Di depan teman-temannya ia ingin bernyanyi.
Suara yang keluar dari Laras anakku tak karuan, tak bernada. Teman-teman dia menyorakinya, menertawakan dia sejadi-jadinya. Runtuh riang Larasku. Sedih raut wajahnya.
Air mataku menunggu jatuh, sesak dada pilu tak terkira. Ingin rasanya aku menangis, berlari masuk kelas, menggendong Laras dan membawamya pergi sejauh-jauhnya hingga suara yang mentertawakannya tak terdengar lagi.
Kelas 3 SD, aku memindahkannya ke SD SLB di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah. Tadinya jika bersama-sama teman sepermainan lainnya kukira ia akan senang, ia bisa diterima, ia bisa ikuti pelajaran. Terlalu banyak rintangan untuk Laras, yang tak bisa mendengar satu suara pun.
Sekarang, Laras sudah kelas 5 SD SLB. Anak periang yang suka menonton film India dan senang membuat keterampilan itu sudah pintar membaca bahasa isyarat, bisa membaca gerak bibir, bisa mengenal huruf dan membaca.
Anak istimewa ini berhasil menyembuhkan sendiri lukanya. Ia terus bersemangat. Tak mudah putus asa dia. Suka sekali pada olahraga, mungkin karena sering melihatku yang bekerja melatih sepak bola.
Kebaikan seorang kawan, membuat Laras kemudian punya alat bantu dengar belum lama ini. Ia bisa mendengar namanya sendiri yang diucapkan aku, ayahnya. Suaraku yang pasti sangat ingin ia dengar sejak lama. “Laras,” kataku. Dan, dia tersenyum. “Laras,” ia meniruku.
Suara pertama yang ia dengar setelah 12 tahun dalam sepi tanpa suara. Suaraku menyebut namanya.
Ada kabut di mataku, ada air membayang di sana. Menunggu jatuh saja. Larasati Wulan Maharani. Dia anakku.
S. DIAN ANDRYANTO
Buku #sayabelajarhidup ke-8: PITA GARUDA (2017)