NYALANYALI.COM, Opini – Saya sering bertanya kepada diri sendiri, ‘Apa mampu meneladani air?’ Dan rasa malu menyerbu. Meski berusaha sekuat daya meneladani sifat dan sikap air, saya selalu gagal. Lao Tzu, mengungkap makna air dalam Tao Te Ching, syair ke-8. Kitab — berisi telaah meditatif mengenai manusia, alam dan kehidupan — ‘hanya’ memuat 81 syair. Beberapa masa kemudian, syair-syair Lao Tzu ternyata begitu bermakna dan menjadi pemandu kalbu.
Intinya, ‘Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Damai, berkumpul dengan sesamanya. Bergerak tanpa berebutan. Tut wuri handayani. Ikhlas memberi daya maju kepada yang di depan. Jika ketemu penghalang, berhenti sekejap. Lalu kembali bergerak bijak; berbelok ke kanan atau ke kiri, atau menyusup tanah, muncul di sebalik penghalang, untuk meneruskan perjalanan’.
Indah nian. Ah, andai kita hidup dalam masyarakat bagai dalam ‘syair air’. Mungkin, para wakil rakyat yang meraih tunjangan 10 juta rupiah, akan malu. Karena rakyat yang diwakilinya, dengan masadepan tetap gelap, hanya menerima tunjangan 300 ribu rupiah. Para koruptor dan perampok duit negara, mungkin malu dan tak mengumbar tawacanda di pengadilan. Para pengebom yang membunuhi banyak manusia tak berdosa, juga mungkin malu. Tidak berwajah masabodoh dan sering mengacungkan dua jari, pertanda victory. Memenangkan apa? Menang terhadap siapa? Korban yang jatuh, manusia juga.
Jika saja mampu meneladani sikap air, mungkin para penyuap perkara tak akan datang ke Lembaga Penyidik dengan langkah dan gaya pemenang. Merasa berjasa lantaran berani berterusterang. Jika perkaranya dimenangkan, apa mereka akan ‘bernyanyi’ juga? ‘Nyanyian’ dilantunkan, jelas karena merasa dirugikan. Tiada lain. Coba kalau diuntungkan. Lain perkara.
Air yang dikecewakan bisa berubah jadi bah. Tiada kekuatan manusia ras mana pun sanggup membendung. Tiada teknologi manusia secanggih apa pun mampu menangkal. Seperti api, air adalah sahabat. Itu jika dirawat bagai sahabat. Tapi air bisa menjadi lawan tanpa ampun, jika disia-siakan. Suara ombak laut, sering terdengar merdu. Tapi amuk alam yang tega dikoyak-koyak, sanggup membikin ombak menjadi tsunami. Angin sejuk bahkan bisa menjadi wilma. Jadi musibah.
Dikoyak-koyak? Ya. Ketika pohon-pohon hutan ditebangi, sehingga bukit dan gunung jadi gundul. Ketika danau dan lebak diuruk demi perumahan mewah. Ketika tanah rembesan air dibeton. Ketika pohonan bakau di sepinggir pantai dibabat demi pembangunan lapangan golf. Manusia juga penyebabnya.
Air tidak serakah, tidak membohongi. Sungai yang dalam, alurnya tenang. Damai, hening. Tapi, suatu saat bisa mengancam jika kawasan sepinggir bantarannya semakin disempitkan. Sungai yang dangkal, gereciknya lantang dan dasar pasir berbatu kelihatan. Bukankah manusia nyaris serupa itu? Padi berisi, selalu merunduk. Tong kosong nyaring bunyinya.
Ah, kita sudah merusak dan merampok harta alam yang seharusnya dipelihara dan disyukuri penuh cinta. Alangkah indah, andai para politikus juga berusaha meneladani sikap dan sifat air.
Para politikus mendirikan organisasi yang berkembang menjadi partai. Dengan lihai, mereka meminta negara membiayai kiprah politiknya. Negara bekerja keras agar rakyat hidup sejahtera dan kocek para politikus tidak kempes. Pajak digenjot naik, harga BBM disesuaikan.
Pemilu digelar. Janji-janji berseliweran. Slogan-slogan berhamburan. ‘Partai wong cilik’, ‘bersama kita bisa’, ‘badai pasti berlalu’, ‘demi pembangunan’, dan sebagai. Janji dan slogan, nyaris serupa iklan diskon yang digelar pasar swalayan sepanjang tahun.
Rakyat tergiur. Ikut membiayai pesta demokrasi yang mengembuskan begitu banyak harapan. Bukankah semua partai menjanjikan masa depan lebih baik dan kesejahteraan? Lalu pemenang ditentukan, direkrut menjadi wakil rakyat. Dan eksekutif. Mesin pemerintahan, mulai dari rt/rw, lurah, camat, bupati, gubernur hingga presiden, tersusun. Bergerak? Maju? Mundur? Atau macet?
Ya. Mana wujud janji-janji yang diikrarkan sebelum kemenangan diraih? Pola dan taktik lama terulang kembali. Sebatas wacana. Sedang diproses! Sabar! Ibarat mobil. Saat mogok, rakyat ikut mendorong. Memang itulah nasib rakyat, sejak dulu. Cuma jadi kayu bakar pembangunan. Jadi lilin menyala. Jadi bahan dasar manipulasi partai politik. Ketika mobil berjalan, rakyat ditinggal di tengah jalan. Lalu datang tokoh tak dikenal, entah jatuh dari langit mana, duduk di belakang kemudi, berlagak memandu jalan. Rakyat hanya bingung dan tak paham. Dengar! Bingung dan tak paham pun pasti ada batasnya.
Saya menulis syair berjudul Duabelas Pas. Akibat permainan imbang dan sama kuat/Perpanjangan waktu 15X2 menit ditetapkan/Dan ketika tak satu jua gol tercipta/Masing-masing kesebelasan dianugerahi/Lima kali tendangan bola, adu penalti/Aku lebih suka menyebutnya, 10X12 pas/Tapi wasit ibarat tuhan di lapangan/Dipatoknya keputusan yang dramatis/Hakim garis direkrut jadi kiper dan algojo/Satu hakim mewakili satu kesebelasan/Duapuluhdua pemain bola hanya melongo/Ketika wasit dan hakim pun ikut bermain.
Saya sering bertanya kepada diri sendiri, ‘Apa mampu meneladani air?’ Dan rasa malu menyerbu. Meski berusaha sekuat daya meneladani sikap dan sifat air pun, saya selalu gagal. Akan terus begini?
N. RIANTIARNO
Budayawan, Pimpinan Teater Koma
(Majalah MANLY)