Indah Pada Waktunya Itu Nyata

Tangan kecil itu mulai membesar. Tangisan yang setiap saat kudengar saat ingin berdahak dan memuntahkan seluruh makanannya kinipun mulai menghilang perlahan…

Masih teringat tajam dalam benak ini saat bersandar di pojokan sudut kamar kala mengingat masa sulitmu 4 tahun yang lalu…

Tak henti-hentinya mata ini menangis mengingatmu hilir mudik ke rumah sakit, puskesmas, bidan, urut therapy untuk menghilangkan penyakit yang bersarang di tubuhmu hingga memperlambat tumbuh kembangmu…


Sedih…

Yaa, sangat sedih melihatmu kala itu nak..

Lemas tak berdaya, hingga banyak simpati, empati bahkan cemoohan pun datang silih berganti…

Sakit…

Yaa, sangat sakit.. 

Akupun ikut merasakan sakitmu nak saat kamu divonis Pneumonia atau lebih dikenal infeksi paru-paru yang sudah mendekati TB paru-paru dan juga divonis ada kelainan cacat pada pertumbuhan kaki yang mana semua penyakit itu kemungkinan besar mempengaruhi tumbuh kembangmu  dan menghambat kelancaran bicara dan berjalan…

Dalam vonis itu, dirimu tak pernah lepas dalam pantauan dokter. Tak jarang obat-obatan pun masuk ke dalam mulutmu dan therapy uap untuk mengencerkan dahak dan fisiotherapy untuk berjalan pun rutin kamu dapatkan. Namun terkadang tetap saja takdir membawamu harus dirawat di rumah sakit beberapa kali, yang akhirnya harus berujung dengan pemasangan impusan dan selang yang masuk melalui hidungmu untuk bisa masuk asupan makanan ke tubuhmu yang meski sering kamu muntahkan lagi dan lagi serta pemasangan selang yang berulang-ulang lagi dan lagi…

Hati ini sering menjerit, kenapa bukan aku saja yang mengalami semua ini. Mengapa harus kamu nak, gadis kecil yang seharusnya melewati masa-masa indah di waktu kecilmu ini tidak dengan masa-masa sulitmu dengan penyakitmu…

Aku sadar mungkin ini semua kelalaianku dalam menjagamu saat masih dalam kandunganku. Aku sadar mungkin ini teguran atas terbuainya aku dengan kelemahanku saat mengandungmu hingga mungkin  mengabaikan nasib pertumbuhanmu dalam kandunganku…

Dalam sujud, kupecahkan semua tangisanku

Dalam sujud, kuhentakkan semua jeritanku

Semua upaya telah dilakukan. Hanya pasrah dan ikhlas menerima kenyataan pahitmu dan kenyataan pahit kami ini nak…

Keheningan pun perlahan berlalu. Syukur Alhamdulillah Allah masih bermurah hati memberi jawaban dari sujud dan tangisanku. Menjelang usiamu ke 3 tahun, kaki kami dilangkahkan membawamu ke tempat terapi untuk anak yang bisa mengobati segala penyakit dan tumbuh kembang anak. Sungguh merasa mendapat mukzizat, dengan berkunjung 5 kali penyakitmu dinyatakan bersih dari tubuhmu oleh dokter dan tidak itu saja, kaki yang divonis cacat dan kesulitan berjalan mendadak bisa bangun dan berjalan…

Air mata tak henti membasahi pipi sebagai ucap syukurku padaMu ya Allah…

Mensyukuri semua Rahmat yang kami dapatkan, meski sekarang dirimu sudah menginjak hampir 4,5 tahun tapi masih perlahan untuk belajar bicara dengan lancar karena efek dari penyakitmu sebelumnya, namun hati ini tak henti-hentinya bersyukur karena Allah sudah memberi jalan dan kamu sudah berhasil melewati masa-masa sulit sakitmu dengan kuat nak selama ini. Kini tangisanmu menahan rasa sakitmupun mulai menghilang…

Namun sayang sungguh disayang, Bude sang pahlawanmu yang mengurutmu hingga bisa sembuh dan berjalan seperti sekarang ini sudah meninggal saat kita belum sempat bersilaturahmi lagi ke rumahnya. Kitapun tak dapat mengunjungi makamnya karena pemakamannya harus dibawa kota halamannya di luar kota. Hanya doa yang bisa kita panjatkan untuknya sebagai ucapan terima kasih kita ya nak. Ingatlah dia selalu dan sematkanlah selalu doa untuknya sebagai balas jasamu padanya nak…

Mungkin selama ini aku sering mengeluh dan menjerit dengan kenyataan pahit yang pernah aku terima namun Allah menyadarkan dan mengingatkanku untuk selalu introspeksi diri, berdoa dan bersyukur. Karena semua cobaan datangnya dari Allah dan semua jalan akan diberikaNya juga jika kita selalu yakin dan selalu bersyukur. Maka indah pada waktunya pun itu akan kita rasakan dengan nyata…Jangan lupa bersyukur untuk hari ini, esok dan seterusnya…

Tulisan dan foto: Dwi Kartika Sari – Jakarta

Bagikan :

Advertisement