NYALANYALI.COM – Duduk di bawah rindang pohon, menunggu pembeli, menanti rezeki, usaha sejak pagi.
Sesekali ditiupnya gelembung-gelembung, berkali-kali kemudian ia tampak melamun lagi.
Entah memikirkan apa, barangkali tenggat kontrakan makin dekat uang terkumpul belum dapat. Anak-anak perlu biaya, punya uang tak pernah lega. Kebutuhan dapur istri belum terpenuhi, padahal banting tulang sudah sehari-hari.
Bapak penjual gelembung sabun, meniup kembali hingga mengudara puluhan gelembung sabun. Terbang di sekitar wajahnya, yang lelah, seolah ingin menghiburnya, memercik di hidung, pecah. Kena rambutnya, pecah. Kena matanya, basah.
Gelembung-gelembung sabun terbang di udara, tak tinggi terbangnya, kemudian ambyar. Saling berebut naik, akhirnya musnah juga.
Anak-anak melewati Bapak Gelembung Sabun, meski ia berusaha memikat dengan meniupkan hingga gelembung sabun banyak berputar-putar, tapi belum satu pun anak-anak yang tertarik. Mereka melirik sekilas, sebelum asyik kembali dengan gadgetnya. Orang tua mereka melirik sekilas, “Dulu itu mainan kita,” kata si ayah kepada istrinya, sambil menunjuk Bapak Gelembung Sabun. Dulu, artinya sekarang tak lagi tertarik membeli.
Rasanya aku ingin membisikan kepada Bapak Gelembung Sabun itu, untuk pindah berjualan. Juallah peniup gelembung sabun di depan para pejabat, wakil rakyat, politisi, capres-cawapres yang sekarang sedang gemar mengumbar janji-janji karena musimnya merayu dapat suara nanti.
Tiupkan gelembung sabun sebanyak-banyaknya ke wajah mereka, agar mereka tahu, seperti itulah janji mereka selama ini. Berbusa-busa kemudian lupa, setelah berkuasa kemudian buat janji entah kepada siapa, merasa tak apa mengkhianati pemilihnya. Toh sudah berkuasa, bisa semaunya.
Kehidupan sulit sepertinya tak ada lagi dalam kamusnya, buat ini itu, bangun itu ini, tak langsung berimbas kepada orang seperti Bapak Gelembung Sabun. Kalau pun bagi sembako ada maunya. Kalaupun bagi kaos ada pamrihnya, ada gambarnya, seolah itu dari mereka, padahal uang rakyat juga untuk membelinya. Dapat nama tak mau tekor dompetnya.
Bapak Gelembung Sabun masih duduk di bawah pohon. Menanti pembeli. Menunggu rezeki. Kemudian, termenung lagi. Semangatnya masih tak berhenti.
DIAN ANDRYANTO